Bab 2 : Pudar

85 1 2
                                    

"Mbak-mbak gila. Senyum-senyum sendiri. Hii... takut."

Mendengar kalimat itu, aku sontak sadar dari pikiranku. Lalu berhenti memelototi dua bocah laki-laki yang melewatiku.

"Ayo lari, Van, nanti dikejar mbak gila." Mereka berdua tertawa keras dan segera berlari. Sungguh-sungguh lari.

"Dasar bocah gendeng," balasku.

Sampai di sebuah pemukiman kediaman Dimas aku berhenti. Rumah Dimas merupakan sebuah kontrakan kecil yang dari 10 kontrakan yang bentuknya serupa. Jadi, perlahan aku lewat sambil mencari rumahnya yang kukenali dari kandang burung yang digantung di teras dan ada banyak pot pot tanaman lidah kucing.

Semakin kurasa mendekat, kerumunan orang lebih banyak. Aku begitu bingung. Lalu aku melihat bendera kecil kuning. Oh, ada orang yang meninggal rupanya. Dan kerumunan itu berakhir di rumah Dimas. Siapa to yang ninggal? Aku masih mematung di dekat pohon yang berada 20 meter dari bendera kuning itu.

Deg. Sambungan di otakku baru saja terkoneksi. Tidak. Tidak mungkin. Aku kembali memastikan. Di luar sana terlihat orang yang kukenali sebagai ibu dari Dimas, Ayahnya, dan adik perempuannya yang berusia 10 tahun yang menangis terisak duduk di depan rumah. Lalu dimana Dimas? Oke, Laras, berpikir positiflah. Mungkin itu saudaranya.

Aku masih di sana. Tak berani mendekat. Kukumpulkan keberanianku. Aku berjalan ke sana, tapi yang terjadi malah aku duduk di kursi plastik yang disediakan untuk pelayat. Aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling. Oh, ayolah, Dim, munculah.

Beberapa kaum ibu di depanku mengobrol. Hey, tidak baik menggosip di tempat orang yang tengah berduka. Tapi tetap saja aku menguping.

"Tadi ikut nganter ke kuburan, Bu?"

"Gak Bu Ning. Anak saya yang TK tadi gak mau ditinggal."

Aku masih mendengarkan. Berharap ada suatu informasi yang dapat kuambil.

"Kasihan ya, Bu Lastri. Udah mati-matian merawat anaknya yang koma 6 bulan," kata ibu yang berbadan gempal.

"Iya, kasihan banget. Padahal itu anaknya cakep, pinter, rajin ngaji. Tapi memang Allah punya rencana lain, ya, Bu."

"Kalau masih ada, sekarang pasti udah seusia anakku yang kelas 2 SMA."

Deg. Tolong katakan yang baru kudengar itu salah.

Hatiku rasanya diporak-porandakan. Aku langsung beranjak pergi dan berlari. Sama sekali tak peduli tatapan orang lain. Aku menahan air mataku sampai aku bisa merasakannya seorang diri.

"Laras," kudengar suara suami Ibuku.

Aku memandangnya sebentar dengan mata yang pasti telah memerah. Ia memandangku bingung.

"Kamu kenapa?"

Tapi aku terus berlalu.

Kembali ke jalan yang telah kulalui tadi, aku terus berlari. Sampai di lapangan yang sedang ada anak-anak kecil bermain bola, aku menerobos lewat. Mereka memandangku terkejut. Tapi aku tak peduli. Aku terus menerjang lewat. Di ujung lapangan, padang ilalang kecil muncul. Aku menelusup masuk. Terus masuk sampai tak kudengar suara cekikikan anak main bola.

Aku Tidak Gila!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang