Malam Jumat Di Menteng

2.5K 21 0
                                    

NAMAKU Adi. Aku anak Menteng. Jika Obama saja bangga menjadi anak Menteng, aku pun demikian. Aku sangat bangga jadi anak Menteng. Lagi pula, menurut sejarah, Menteng merupakan kota taman pertama di Indonesia. Hebat, kan?!

Banyak orang bilang kalau Menteng itu gudangnya setan di Jakarta. Ah, jujur aku tidak percaya. Sebab sejak dari lahir tinggal di sini, aku merasa aman dan nyaman saja. Tidak pernah sekali pun aku menemukan sesosok hantu di Menteng.

"Kalo lo ga percaya Menteng itu gudangnya setan, lo ikut gue besok malem keliling Menteng!" kata Satrio, temanku suatu ketika. "Berani enggak? Kita lakukan ekspedisi paa malam Jumat Kliwon!"

"Oke. Siapa takut?" tantangku balik.

Waktu berlalu cepat dan malam Jumat Kliwon pun datang. Satrio datang ke rumahku dengan mengenakan pakaian hitam-hitam. Ketika dia sampai di muka rumah, aku menyambutnya dengan baju putih-putih. Mungkin nanti kami akan terlihat seperti setan dan malaikat yang sedang berduet.

Dengan menaiki sebuah vespa antik milik Satrio, kami berangkat menuju ke Hotel Grand Menteng. Hotel itu konon angker karena pernah terjadi peristiwa tewasnya seorang artis terkenal. Sesampainya di sana, kami meminta izin untuk masuk ke kamar nomor 432, kamar tempat si aktris tewas. Berkat penyamaran Satrio yang meyakinkan, dia berhasil mengelabuhi petugas hotel dengan menyamar sebagai reporter televisi.

Kami pun diantar hingga ke pintu kamar. Ketika masuk ke dalam sana, keadaan sangat gelap. Saat aku ingin menyalakan lampu, Satrio melarangku. Katanya, kalau terang nanti setannya tidak mau datang. Setan itu takut kelihatan jeleknya kali, ya? Hehe ...

Satrio mengeluarkan sebuah senter besar dari dalam ranselnya. Ia menyorot sudut-sudut ruangan. Saat sorotan senter itu menerangi bagian pinggir kasur, sekilas kami melihat sesosok makhluk putih yang tengah duduk di sana. Jantungku mulai berpacu. Satrio berjalan mendekati sosok itu. Namun sekelebat sosok itu hilang entah ke mana.

Lututku terasa lemas. Kuikuti setiap langkah Satrio. Tiba-tiba ... di belakangku terdengar bunyi sreekkk ... srekkk ... srek ....

"Sst!" Panggilku sambil menarik lengan Satrio. Kami berdua diam sejenak. Suara di belakangku pun tidak terdengar lagi. Kami masih diam mematung. Setelah dipastikan tidak ada suara sama sekali, kami pun kembali berjalan.

Srekk ... srekkk ... SREKK ...

ASTAGA, lagi-lagi ada suara dari belakangku. Aku kembali menarik tangan Satrio. Kami kembali diam, dan suara di belakangku kembali hilang. Satrio kemudian menyorotkan senternya ke belakangku. Aku tidak berani menoleh ke belakang, namun kulihat wajah Satrio memucat dan ia mengerang ketakutan.

Kuberanikan diri untuk menoleh ke belakang. Ternyata ... ASTAGA!!!

Sesosok wanita bergaun putih tengah memegang betisku. Rambut panjangnya yang tidak tertata menutupi wajahnya, namun terlihat jelas, sosok misterius itu tengah menyeringai ke arahku.

"Aaaaaaaaaaa ...!!!!" Aku dan Satrio berteriak kencang.

Tanpa berpikir panjang, aku langsung berlari membuka pintu dan keluar dari kamar itu. Satrio pun membuntutiku.

Sesampainya di luar, kami mengatur napas hingga terbungkuk-bungkuk.

"Gimana ... mantap, kan? Huwahhh ..." Canda Satrio menutupi muka pucatnya.

"Aseeemmm.. udah ah! Gue mau pulang! Ga usah dilanjutin!"

Tanpa banyak bicara Satrio mengacungkan telunjuknya lalu menarikku pulang.

Di perjalanan aku masih merasa was-was. Takutnya hantu di hotel tadi mengikuti kami. Sepanjang perjalanan Satrio berusaha menenangkanku, tapi entah mengapa perasaanku sangat tidak enak. Apalagi saat aku mengingat betis kiriku yang tadi diganduli oleh si wanita misterius. Hiiii ...!!!

Satu jam berlalu, entah mengapa aku dan Satrio belum juga sampai di rumahku. Padahal seharusnya setengah jam saja kami sudah sampai. Kuungkapkan hal itu pada Satrio. Ia tertawa saja. "Jangan-jangan kita lagi dikerjain setan keder, nih! Hahaha ...!"

"Husss!" Kutepak kepalanya. Dar Satrio gembel. Orang lagi panik malah ditakut-takutin.

Selain terasa lama, perjalanan malam ini terasa sangat dingin. Dingiiiiin sekali. Tubuhku sedikit menggigil saking dinginnya. Tiba-tiba, vespa Satrio batuk-batuk hingga akhirnya mogok. Yap, bagus sekali. Kami mogok di tengah jalan, tengah malam, tepat di depan gedung Bappenas.

Aku pun segera turun dan membantu Satrio meminggirkan motor wasiatnya. Dengan sigap, Satrio segera mengeluarkan peralatan kantornya (baca:bengkel) dan segera beraksi membenarkan si vespa. Aku yang sedang senggang, iseng melihat-lihat ke arah gedung Bappenas.

Di depan gedung itu aku melihat seorang laki-laki yang tengah berdiri. Tubuhnya cukup besar untuk ukuran postur tubuh Indonesia. Kulit dan rambutnya pun berwarna putih, semakin jelas bahwa ia bukan orang asli Indonesia. Kalau ia adalah orang luar, untuk apa dia berada di sana tengah malam seperti ini? Orang itu memegang sebuah tongkat besi seperti parang besar di tangan kanannya.

Kupandangi terus orang itu. Namun, lama-kelamaan dilihat, orang itu semakin besar ... semakin besar ... dan ASTAGA!!! Dia semakin besar.

"Sat! Satriooooooo!" Aku menepuk-nepuk punggung Satrio sambil terus memandang manusia raksasa tadi. Tingginya kini tepat setara dengan tulisan "BAPPENAS" pada gedung itu. God!!!

"Sattt!!!" Satrio menengok dan ikut terperanjat melihat makhluk besar itu. "Astaganagaaaa!!!" Satrio ternganga. "Itu genderuwo bule Tom ... Tom, cepet Tom bantuin dorong motor gue! Cepeettt!!!"

Aku melihat Satrio sangat panik. Dari ketakutan Satrio yang berlebihan itu, kuterka bahwa berdasarkan pengetahuan kejawennya, mungkin "genderuwo bule" itu sangat berbahaya.

Aku pun ikut panik dan membantunya sekuat tenaga mendorong vespa. Tidak kusangka vespa itu sangat berat. Namun aku terus berupaya mendorongnya sekuat tenaga. Aku terus mendorong ... mendorong ... hingga akhirnya aku kelelahan. Saking kelelahannya, aku pingsan.

***

Keesokan paginya, aku terbangun. Dan ternyata, aku masih berada di depan gedung Bappenas. Orang-orang mengerubungiku, mengira aku adalah korban penjambretan atau pembunuhan. Ketika aku bangun, mereka semua kaget.

Aku pun menyetop taksi dan langsung pulang ke rumah. Di perjalanan, ponselku berbunyi. "Halo ...."

"Halo, sorry Tom semalem gue ga jadi ke rumah lo! Bokap gue sakit soalnya" sapa Satrio di ujung telepon sana.

Aku terperanjat. "Hahh ! Maksud lo?"

"Iya. Lo lupa semalem kita punya niatan ekspedisi malam Jumat Kliwon?" Sorry banget, ya semalem ga jadi. Hehehe .... kita tancap gas di Jumat Kliwon selanjutnya aja, ya!"

ASTAGA! Lalu siapa yang semalaman bersamaku?

Sekujur tubuhku lemas. Ponsel di tanganku terjatuh.

Jakarta Penuh HantuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang