Our Beautiful Library

13 1 3
                                    

Kulihat sepasang mata yang lelah dari cermin depan. Mata milik seorang pria yang sengaja mengajakku ke tempat ini. Ia memutar-mutar stir yang dipegangnya sehinggalah kami berada didepan pintu selamat datang.

Pria itu berpeluh dan mengeluh kecil. Wanita si isteri pria itu juga terlihat kepanasan. Wajahnya berpeluh. Dan lelaki satu lagi mengenakan kacamata hitamnya untuk menghindari terik matahari.

Ada banyak manusia yang sedang duduk atau berbaris teratur didepan loket. Dua pria itu pergi dan menyuruh aku dan wanita cantik ini membayar tiket. Mereka akan menyusul nantinya. Kami masuk. Disini panas. Aku mengeluh. Rasa bersalah mulai menyerubungi saat aku terlepas mengeluh didepan pria dan isterinya. Aku tau mereka tersinggung. Aku mulai sebak.

Rasanya ingin memilih dari awal destinasi kami biar aku yang putuskan. Tapi kami terlanjur ada di tempat ini. Banyak air dan seluncuran tinggi menjakjubkan. Anak-anak berlarian seperti anak itik diatas air. Seperti tak memeperdulikan matahari yang seperti berada beberapa senti diatas mereka.

Para wanita menunggui anaknya bermain. Rata-rata wajah wanita tersebut putih mulus, bisa ku tebak alasan mereka mengapa tak ingin bergabung dengan anak-anak itu. Sunblock mereka tertinggal didalam mobil atau di rumah nya mungkin.

Lelaki berkacamata itu sudah menarikku ke anak tangga. Kami daki dan hanya seminit seluncuran air sudah didepan mata. Jeritan pengunjung memekakan telinga. Aku merasa teruja. Semua mendapat giliran begitupun aku dan lelaki ini. Semuanya ada dalam rekaman.

Aku tertawa dan melakukan story telling didepan pria dan isterinya itu. Dapat kurasakan mereka turut tertawa. Padahal mereka hanya duduk ditepi dan menunggui aku dan lelaki yang menemaniku bermain. Aku heran apa yang seru dari duduk diam dan melihat manusia berulang-alik didepan. Aku sebak lagi.

Kau tau, rasanya seperti kau disuruh sesorang untuk melukis dengan cat akrilik yang berkualitas namun saat kau sudah puas membuat hasil karyamu seseorang tadi kembali dan tiba-tiba memaksamu untuk merobek-robek lukisan yang ada dikanvas mu yang cantik tadi.

Kadang aku tak mau membuat momen ataupun perayaan kecil dengan tiga manusia yang ada disisiku kini. Tapi kau tau kan, duduk diam itu membosankan. Jadi aku setuju untuk membuat momen. Dan berdo'a semoga momen yang dibuat tak akan ada yang memaksanya untuk dihapus. Karena aku belum belajar bagaimana menekan tombol delete all moment di dalam otak. Setauku hanya komputer saja yang bisa melakukannya. Nanti mungkin aku akan berkonsultasi dengan guru komputerku.

Aku tak ingin berada disitu saat ketiga orang ini mungkin tak wujud di sisiku lagi. Tapi sang pencipta maha adil. Ia mencipta manusia yang baru saat kau kehilangan manusia yang lain. Dan eventually kau mengerti semua benda disekitarmu hanyalah pinjaman. Seperti perpustakaan yang memijamimu novel favorit yang tak sempat kau beli di toko buku langgananmu. Dan kau akan berpura-pura lupa untuk menaruh lagi novel itu di rak saat sudah jatuh tempo. Dan yang akan kau dapat adalah sepasang mata librarian yang melototimu dengan garang.

Hingga akhirnya kau meletakkan novel favoritmu di rak asalnya lagi. Meski kau masih ingin membacanya, atau kau masih membaca separuh halaman karena sibuk membuat pr.

Namun saat kau sampai rumah, ayahmu membelikan novel yang kau pulangkan di perpustakaan tadi. Malah dengan satu bonus novel lain yang akan menjadi novel favoritmu selanjutnya.

Dan saat novel itu suatu hari hilang atau rusak atau robek karena tenggelam di toilet, akan ada seseorang yang membelimu novel yang lebih banyak dari sebelumnya. Dan seterusnya, dan seterusnya.

Perfect TragedyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang