SATU (start 27 des 2015)

25.4K 812 58
                                    

WARNING:

BILA KALIAN MEMBACA INI BUKAN DI: https://www.wattpad.com/user/ChristinaTirta , BERARTI KALIAN MEMBACA DI SITUS TIDAK RESMI. CERITA INI AKAN DI-PRIVATE DI BEBERAPA BAGIAN & TDK AKAN BISA DIBACA OLEH NON-FOLLOWER. JADI, MENDING BACA DI SITUS RESMI YUK :):)

CARANYA: SIGN UP DI https://www.wattpad.com OR KALIAN BS UNDUH DI PLAYSTORE (BILA VIA ANDROID) & NIKMATI KISAH INI DGN TENANG :)

JANGAN LUPA FOLLOW DULU AUTHOR-NYA YA :):)

SATU

ENTAH mengapa, perasaan Elle mengatakan bahwa pria di hadapannya menatapnya dengan senyum yang aneh. Mungkin hanya dia saja yang ge-er. Apalagi, harus diakuinya, pria itu memang sangat menarik. Mata di balik lensa kacamata tipis yang dikenakannya terlihat cerdas walau ada kilat jail yang mencurigakan. Bibirnya tersenyum penuh arti, seperti ada maksud tersembunyi. Usianya pun kelihatannya masih cukup muda apabila dibandingkan dengan rata-rata usia orangtua anak didiknya.

Elle berdeham, berusaha memulihkan konsentrasinya yang nyaris buyar. Wajahnya serius. "Sebenarnya Devon anak yang pintar. Hanya saja, saya sering memergokinya sedang melamun. Bukan cuma sekali atau dua kali saja, tapi hampir setiap kali. Saya rasa, itu penyebab nilai-nilainya kurang bagus. Saya pernah mengajaknya ngobrol, tapi dia belum mau banyak bicara."

"Saya pikir, mungkin saja karena Devon anak pindahan sehingga butuh waktu untuk adaptasi dengan lingkungan sekolah barunya. Tapi, saya perhatikan bahkan saat istirahat pun Devon lebih suka menyendiri walau teman-teman sekelasnya mengajaknya bermain," sambung Elle. "Pertanyaan saya, bagaimana sikap Devon di rumah?"

"Miss Elle?"

Dahi Elle berkerut. Pria itu mengucapkan namanya dengan ejaan yang salah. Huruf E di belakang tidak seharusnya diucapkan.

Tawa kecil terlepas dari mulut pria itu. "Ups, sori, maksud saya, Miss Elle." Ia mengoreksi kata-katanya, lagi-lagi dengan senyum jail. "Maklum, lidah saya masih lidah lokal. Saya tidak terbiasa dengan nama-nama berbau asing. Tapi..." Ia terdiam, senyum masih bermain di wajahnya yang memikat. "Anda cocok kok dengan nama itu. Ah, maaf, saya jadi bicara tidak keruan begini."

"Jadi, sebelum saya jelaskan mengenai keadaan Devon, biar saya perkenalkan diri saya terlebih dulu." Senyumnya semakin dalam, menampakkan sepasang lesung pipi yang membuat wajahnya kian menarik. "Nama saya Eric. Devon adalah keponakan saya."

Terkejut, Elle pun spontan berujar. "Oh, saya pikir anda itu papanya Devon. Memangnya orangtua Devon di mana ya?"

"Sebenarnya Devon sudah tidak memiliki ayah sejak lahir. Ibu Devon alias adik saya sedang sekolah lagi di Melbourne. Sejak kecil Devon dirawat oleh nenek dan kakeknya. Devon memang bukan anak yang terlalu cerewet. Tapi, ia selalu bersikap ceria di rumah."

Elle mengangguk. Kini ia paham mengapa tingkah laku Devon begitu. Sebagai seorang guru, ia terbiasa menghadapi bermacam-macam karakter anak, bahkan yang sulit sekalipun. Biasanya penyebabnya sederhana. Kurang perhatian karena orangtua yang supersibuk, atau malah terlalu dimanja.

"Kalau begitu, mungkin Devon bisa diajak ngobrol? Mungkin dia merasa tidak nyaman di sekolah?" lanjut Elle.

"Apa mungkin teman-teman Devon ada yang mem-bully-nya?"

"Sejauh yang saya perhatikan sepertinya tidak ada kasus bully. Tapi, saya tidak bisa mengawasi anak didik saya sepanjang waktu. Karena itu saya minta bantuan Bapak mengajak ngobrol Devon untuk mencari akar masalahnya."

Terdengar tawa kecil. "Bapak? Saya jadi merasa tua."

Senyum tipis muncul di wajah Elle. Memangnya situ mau dipanggil apa? Masbro? batinnya.

AFTER THAT NIGHTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang