Chapter 2.1

344 16 9
                                    

-Frey's Past-

Aku tak bisa lari kemanapun.

Aku juga tak punya rumah untuk kembali.

Dan.. hidupku akan menjadi sengsara.

Apa lagi yang bisa membuatku lebih menderita dari ketiga hal itu? Kurasa tak ada lagi, atau, kalau ada sekalipun, aku tak peduli. Aku sudah tak merasakan sakit lagi, sudah terlalu banyak sakit yang aku alami, dan aku juga tak berminat menceritakannya pada siapapun. Aku menatap kedua tanganku yang sudah mulai melepuh karena terus memegang logam selama kurang lebih 5 jam tanpa istirahat. Aku mencoba untuk bergerak — memecah batu yang ada di hadapanku dengan sabit ini, tapi kelelahan mencegahku melakukannya. Kakiku lemas, seolah tak ada tenaga. Aku hanya bisa pasrah saat tubuhku jatuh dengan sendirinya.

"Hei, kerja yang benar!"

Suara seseorang menyentakkanku, tapi badanku yang sudah letih ini sama sekali tak merespons perkataannya. Sedetik kemudian, aku merasakan perih di punggungku, dia mencambuki punggungku. Dengan sisa tenaga yang aku punya, aku mencoba berdiri dan kembali memecah batu.

***

"Kita tak bisa berada di sini terus! Bukannya kalian juga punya keluarga?"

Aku mendengus. Untuk apa aku keluar dari sini? Aku sudah tak punya orang yang menungguku di dunia luar sana. Perkataan anak itu hanya membuat perasaanku semakin memburuk, tapi aku juga tak ingin membuat masalah dengannya. 

Aku menatap anak berambut hitam kecoklatan yang ada di sebelahku. Dia duduk dengan posisi yang sama denganku : kedua kaki tertekuk, dengan tangan yang menutupi wajahnya. Dia terlihat lebih depresi daripada diriku sendiri, tapi hal itu tak membuatku heran. Mungkin tak lama lagi, ada yang akan membelinya sebagai budak, dan itu bukan suatu hal yang menyenangkan.

"Kenapa kamu diam saja?"

Aku mendongak, aku melihat seorang anak lelaki berambut biru muda yang sedang berdiri di depanku. Dia tersenyum, seolah dia tidak punya beban.

"..."

"Kamu tidak ingin keluar dari sini?"

"Untuk apa?" tanyaku singkat. Anak itu kemudian duduk di depanku.

"Kau tidak ingin bebas?"

Aku menatapnya dengan kening berkerut. Kenapa dengannya? 

"Tak ada untungnya, meskipun aku bebas dari sini."

Dia lagi-lagi tersenyum. Tanpa kuduga, dia menatap rambutku, dan mengambil sehelai yang jatuh di lantai di dekat kakinya. Dia memandangi helai rambut itu seakan itu adalah permata yang sangat mahal, dia kembali menatapku.

"Siapa namamu?"

Aku terdiam, tidak langsung menjawab.

"Hei, ayolah. Kau curiga aku akan berbuat hal aneh padamu?"

Dia menyeringai, entah kenapa aku malah merasa semakin heran padanya. Kenapa dia terlihat begitu.. ceria? Apa dia tak membayangkan betapa menyedihkan hidup sebagai budak? Apa dia tidak merasa sengsara, hidup dalam ruangan sempit berisikan banyak orang ini? Aku menatapnya, aku menyadari aku pernah mengenal wajah itu. Ya, dia anak yang menolongku waktu di Ether. Tapi, aku tak ingin mengingatnya — sebaliknya, aku berusaha melupakan semua itu.

Dia mengulurkan tangan, aku menatap tangan yang ukurannya kurang lebih sama dengan ukuran tanganku selama beberapa detik, kemudian aku kembali menatapnya.

"Namaku Freya."

"Kau tidak punya nama belakang?"

Aku meletakkan daguku di atas kedua tangan yang kutekuk di atas lutut, "Aku tak peduli soal itu."

Chronicles of AdamantineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang