Riri POV
Aku duduk tegak di atas sofa berkulit cokelat yang berada di ruang tamu rumah. Meremas pelan kedua jemariku yang bertautan. Disebelahku, Ayah sedang bertukar pandang dengan seorang pria yang sedang diliputi oleh kemarahan. Aku memberanikan diri untuk melirik pria yang duduk berhadapan dengan ayah. Sehingga sekarang aku dapat melihat wajahnya yang memerah akibat menahan amarah. Apabila digambarkan mungkin seperti Gunung Merapi yang siap meletus kapan saja. Sebelum ketahuan memandang wajah tampan itu, dengan cepat aku kembali menundukkan kepalaku.
"Maafkan saya, nak Erick. Saya benar-benar tidak memiliki pilihan lain. Tapi dari pada nak Erick menanggung malu, saya sebagai seorang ayah rela memberikan puteri saya yang lain." Ayah menolehkan kepalanya untuk melirikku yang masih menunduk sembari memilin jemariku sendiri. "Ini Riri, kembaran dari Rere. Jika dari kepribadian sebenarnya Riri lebih cocok dijadikan isteri daripada Rere," jelas Ayah.
Pria yang dipanggil ayah dengan sebutan Erick itu terdiam sejenak. Rahangnya tampak mengeras. Sepertinya ia benar-benar berupaya keras menahan amarahnya dihadapan Ayah. Laki-laki mana yang mau menerima pengantin perempuannya diganti sesuka hati? Seperti menukar sebuah barang yang cacat dengan yang baru.
"Saya mengerti maksud Pak Handi. Tapi kita di sini tidak sedang bernegosiasi Pak! Bagaimana bisa anda memberikan solusi seperti ini kepada saya! Apa yang akan saya katakan kepada ibu saya nanti bila saya bertemu kembali dengannya?" sahutnya dengan suara sedikit meninggi. Sepertinya emosinya yang sejak tadi ditahannya sudah tidak dapat dibendung lagi.
"Maafkan saya. Saya sebagai ayah tidak becus mendidik anak saya. Tapi alasan dibalik semua ini karena Rere yang seharusnya menikah dengan nak Erick sedang mengandung anak dari pria lain. Tentu saja nak Erick tidak ingin menikahi seorang perempuan yang sedang hamil bukan?" bujuk Ayah.
Emosi mulai menyelusup ke dalam hatiku, tapi semua itu berhasil aku telan bulat-bulat bak obat pahit yang sengaja kutelan karena tak ingin merasakan kepahitannya terlalu lama dilidahku. Dalam hati aku juga terus mengingatkan diriku sendiri jika aku melakukan semua ini bukan demi Rere, tapi aku lakukan demi harga diri Ayah yang telah merawatku dengan baik sepeninggal ibu yang telah pergi ke rumah sang pencipta terlebih dahulu ketika aku dan Rere berumur lima tahun.
Tak ada jawaban dari seberang sana. Mungkin pria itu sedang berpikir keras, aku tahu dari Ayah jika awal rencana pernikahan ini karena ibu Erick yang menyukai kecantikan dan kepribadian Rere saat mereka bertemu di sebuah butik tempat gadis itu bekerja dua bulan yang lalu. Namun sayangnya ibu Erick meninggal dunia lebih cepat sebelum melihat putera semata wayangnya menikah.
"Lihatlah nak, percayalah pada saya bila Riri lebih baik dari pada Rere. Dia adalah calon isteri yang tepat buat nak Erick," kata Ayah meyakinkan.
Mendengar perkataan Ayah, aku merasa diriku seperti barang yang sedang disodorkan kepada pihak pembeli. Pembeli yang tidak menginginkan barang yang sudah dibelinya karena tidak sesuai dengan permintaannya. Hanya karena sudah terbayar, sehingga mau tidak mau pembeli itu harus menerimanya jika tidak ingin mengalami kerugian. Dengan kepala masih tertunduk, aku menggigit bibir bawahku. Menahan rasa sakit yang terasa sangat menyakitkan di dalam dadaku.
Tak lama kemudian aku dapat mendengar suara hembusan nafas berat milik Erick.
"Baiklah. Saya pikir saya tak punya pilihan. Toh persiapan pernikahan sudah hampir selesai. Saya rasa tak ada bedanya bila saya menikahi Rere atau pun Riri. Karena tujuan saya adalah mencari seorang istri bukan untuk mencari seorang wanita untuk dicintai."
Deg!
Mendengar ucapannya aku memberanikan diri mengangkat wajahku dan menatap pria bernama Erick yang akan menjadi calon suamiku sedang tersenyum sinis. Hatiku terasa sakit, seakan ada sebuah jemari yang menekan hati ini sekuat tenaga. Bagaimana bisa ia berpikir seperti itu? Tidakkah ia memikirkan bagaimana perasaanku sebagai peran pengganti di sini? Lagipula dari awal semua ini bukanlah keinginanku! Ingin sekali aku meneriakkan kalimat terakhir itu.
Namun lagi-lagi dengan terpaksa aku harus menahannya. Jika bukan demi Ayah, aku sudah ingin berlari jauh dari tempat ini. Cukup Rere saja yang telah mencorengkan arang hitam diatas wajah Ayah dan aku tidak mau melakukan hal sama. Karena aku sangat menyayangi Ayah, maka dari itu aku harus dapat bertahan menghadapi semua ini. Meskipun aku tidak yakin mampu menghabiskan sisa hidupku bersama pria ini? Pria yang memperlakukan aku seperti barang yang baru ia beli. Pria dingin yang bahkan untuk melirikku saja sepertinya ia tidak sudi.
"Itu keputusan yang baik nak. Saya rasa ibumu diatas sana juga menyetujui semua ini." Aku dapat mendengar nada lega di dalam suara ayah. Membuat aku mengukir senyum pahit di bibirku sendiri. Seakan sedang menertawakan hidupku yang harus berakhir seperti ini.
Alih-alih menjawab perkataan Ayah, Erick menganggap jika urusannya di tempat ini telah selesai. Maka ia pun pamit undur diri tanpa sedikit pun melirikku, yang akan menjadi calon isterinya. Bahkan meninggalkan secangkir kopi panas yang telah dingin tanpa pernah disentuhnya.
Aku menghembuskan nafas panjang setelah kepergian Erick. Jika awalnya saja sudah seperti ini, apakah aku mampu bertahan menghadapi laki-laki bernama Erick itu sebagai suamiku kelak? Aku juga ragu, dapatkah sebuah pernikahan tanpa cinta di dalamnya bertahan?
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Beside You
RomanceHighest rank #2 in Romance at 2016. Menggantikan saudara kembarnya sebagai pengantin, tidak pernah terpikirkan sebelumnya oleh Riri. Bahkan ia harus mencubit sebelah tangannya untuk meyakinkan dirinya jika semua ini adalah mimpi. Namun bukankah cubi...