Part 4

213K 11.6K 73
                                    

Aku membuka mataku rasanya hari sudah pagi. Keduaku mataku dapat menangkap sinar matahari yang mulai mengintip di balik tirai, seakan memaksa masuk ke dalam kamar. Malas rasanya membuka mata ini. Ketika kusadari bahwa aku tidak terbangun di kamarku sendiri, aku langsung mengambil posisi terduduk.

Eh!? Di mana aku?

Aku menolehkan kepalaku ke arah sebelah kiriku. Di sana ada Erick yang masih tertidur pulas.
Aku mengetuk kepalaku sendiri. Bodohnya kau Riri! Kau baru saja menikah kemarin. Wajar saja kau tidak mengenali kamarmu sendiri.

Aku melirik ke arah jam alarm di meja lampu sebelah ranjangku. Jam menunjukkan pukul enam pagi. Aku memang terbiasa bangun pagi. Karena ibu sudah tidak ada sejak aku berumur empat belas tahun jadi ayah mengajarkan kami untuk mandiri.

Akupun beranjak dari tempat tidurku dan memutuskan untuk keluar kamar. Aku sengaja tidak membangunkan Erick karena kupikir ia juga pasti merasa lelah.

Aku bangkit dari posisiku dan langsung menuju dapur. Di sana aku melihat seorang ibu yang sekitar berumur lima puluhan sedang sibuk memasak. Beliau pasti Bu Mun tebakku dalam hati. Ketika ia membalikkan badannya, pandangan matanya jatuh padaku lalu ia tersenyum lembut.

"Pagi nyonya. Anda sudah bangun? Bagaimana dengan tidurnya?" sapanya. Ia tersenyum ketika menyebut kata tidur. Gosh! Tidak adakah pertanyaan lain selain itu?

"Pagi bu. Panggil saya Riri saja. Dan saya tidur nyenyak kok," jawabku asal. Setidaknya jawaban itu cukup memuaskan menurutku.

"Ah..baiklah." Ia tersenyum lagi. Sepertinya beliau baik, pikirku. Akupun memberanikan diri mendekat dan bertanya, "Ada yang bisa saya bantu bu? Saya memang belum bisa masak banyak tapi mungkin saya bisa membantu ibu."

"Jangan Riri, nanti nak Erick marah. Ibu masih bisa mengatasi kok." Ia mendorong tubuhku keluar dari area dapur. "Lebih baik kamu layani nak Erick saja." Kulihat ibu Mun mengedipkan matanya sebelah. Oh God! Pasti beliau berpikir yang tidak-tidak.

Selang beberapa menit aku melihat Erick melangkah keluar dari kamar kami dengan pakaian kerjanya. Aku tidak salah lihat?? Kami baru saja menikah kemarin dan sekarang dia mau berangkat kerja?

Yang kudengar dari Rere, Erick memiliki sebuah supermarket yang besar di beberapa kota. Dan semuanya itu adalah hasil jerih payahnya sendiri. Wow..patut diacungi jempol suamiku ini.

"Kau mau berangkat kerja? Mau sarapan dulu?" tanyaku. Aku sudah memutuskan berusaha menjadi istrinya yang baik. Supaya ayahku tidak malu kelak.

"Tidak usah. Nanti aku sarapan di kantor. Kau istirahat saja di rumah. Jangan ke mana-mana hari ini. Dan jangan mencoba untuk keluar."

Apa aku tidak salah dengar? Dia sudah mulai memerintahku. Memangnya siapa dia. Huh..
Dia suamimu bodoh! Seru suara batinku.
Bagaimana aku bisa lupa?

"Baik Yang Mulia." Mendengar sindiranku Erick langsung melirikku.

"Apa katamu?" Matanya menatapku tajam.

"Tidak ada." Akupun berlari kecil menuju kamar kami sebelum laser dari matanya keluar dan mengenai diriku.

Ternyata aku salah, ia menyusulku ke kamar. Dan menutup pintu kamar kami. Mau apalagi sih dia? Dengan malas aku membalikkan badan dan menghadapnya.

"Kau istriku dan kau wajib mendengarkan dan melakukan semua perkataanku. Jangan pernah sekalipun kau membantahnya. Aku tidak akan segan-segan padamu, istriku." Sebuah senyum licik terhias di bibirnya yang tipis dan sexy menurutku.

Wait!! Jangan tergoda Riri! Dia seorang diktaktor yang memulai memberikan perintahnya padamu!

"Ingat Riri, mulai sekarang Erick adalah suamimu, kau harus mendengarkan semua perkataanya. Jangan menbantah. Jadilah istri yang baik untuknya. Jangan permalukan ayahmu ini. Sudah cukup saudara kembarmu saja yang telah mencoreng arang di muka ayah." Aku teringat kembali perkataan ayah pada waktu malam sebeluh hari pernikahan.

"Baik. Kau tidak usah takut. Aku adalah istrimu. Kau bebas melakukan apa saja padaku," tantangku. Aku mendongak mengangkat daguku untuk menatapnya. Dia lebih tinggi dariku. Tinggi tubuhku hanya mencapai lehernya. Sehingga inilah yang harus kulakukan setiap kali berbicara dengannya.

"Kau terdengar sedang menggodaku ya?" Ia mendekat dan tersenyum. Senyum itu lagi. Jengkelku. Senyum yang terlukis di bibirnya membuat pria itu kelihatan tampan walaupun aku tahu ada makna licik didalamnya. Aku suka senyumnya tapi aku tidak suka dia!

"Kau bermimpi! Itu tidak akan terjadi."

"Well, kau baru saja mengatakan bahwa aku boleh melakukan apa saja terhadapmu."

Sekarang wajahku dengannya hanya berjarak lima belas sentimeter. Dia menarik pinggangku sehingga wajah kami semakin dekat dan semakin dekat.

Mau apa dia!? Aku memejamkan mataku. Jantungku berdegup kencang tak karuan seakan ingin melompat keluar dari dadaku.

Pletak!

"Aww!! Kau..!!" Erick menyeringai dan berjalan menuju keluar. Dia berhenti ketika hendak mencapai pintu dan berbalik menghadapku.

"Bersabarlah istriku. Aku selalu menyisakan 'the best part' untuk saat terakhir. Dan kulihat sepertinya kau sudah tidak sabar." Ia mengedipkan sebelah matanya dan keluar sambil tertawa puas.

Dasar gila! Mengkhayal saja sana! Pria itu selalu saja bisa suasana hatiku buruk.

***

Beside YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang