Chapter 7 : Nightmare

36.8K 2.5K 59
                                    

Hujan yang sangat besar dengan awan hitam yang telah bermain cukup lama diatas sana. Seakan tak cukup dengan awan gelap menemaninya, angin dan petir ikut membantu berhembus dan berteriak dengan ganas membuat pepohonan menundukkan dedaunannya.

Leo menutup gordent hitam keemasan di jendela besar kamarnya. Ia berbalik berjalan menuju pintu kamar, membenarkan dasi hitam panjang yang melingkar dilehernya. Suasana hatinya sedang buruk. Sungguh.

Kepalanya sudah berdenyut-denyut tak karuan ketika ia bangun tadi pagi. Dan semakin parah ketika melihat cuaca sama buruknya dengan suasana hatinya. Musim gugur yang dingin.

Leo yakin ia sudah mempergunakan waktu tidurnya dengan tidak banyak pikiran karena belakangan ini tidak ada pekerjaan yang mengharuskannya ikut campur tangan. Kecuali. Ya. Kecuali.

Belakangan ini ia selalu mengunjungi kamar gadis itu. Leo selalu kembali ke kamar gadis itu sejak malam dimana ia memaksa gadis itu makan. Dan malam dimana gadis itu demam. Mungkin sudah beberapa hari.

Untuk memaksa gadis itu makan? Iya. Tentu saja. Ia akan sangat senang hati memaksa gadis itu makan dan meminum obatnya. Ia tidak ingin gadis itu mati sebelum perjanjiannya dengan Andrew terlunasi.

Atau mungkin melalukan hal yang lain. Namun sepertinya gadis itu tidak ingin bermain dengan permainan Leo lebih lama, sehingga gadis itu selalu makan tepat waktu dan tertidur ketika Leo memeriksa kamarnya.

Ia tidak bermaksud untuk masuk namun kakinya selalu berjalan kesana. Dan ia selalu mendapati kamar yang sunyi dan seorang gadis yang tertidur lembut dengan alis yang mengkerut penuh takut. Seakan mimpi buruknya sedang berkemelut.

Leo membuka pintu kamarnya dan mendapati Nico. Pelayan. Tangan kanannya itu telah berdiri disebelah pintu kamarnya. Selalu patuh menunggu perintahnya. Leo melewatinya berjalan menuju tangga dan kemudian Nico mengikutinya. Seperti biasa.

"Apa dia sudah bangun?" Suara dalam Leo mengalun-alun seiring langkah kakinya berjalan menuju tangga.

Nico mendongak. Masih ikut berjalan dibelakang Leo. Ia mengangguk walau tahu Leo tidak melihatnya. "Ya. Dia sudah bangun. Dan ia meminum obatnya dengan teratur," jawab pria jangkung itu lebih lengkap. Mereka berjalan melewati tangga.

Leo terdiam, ia memandangi pintu kamar tamu sebelum ia benar-benar menghilang dibawah tangga.

Dan pagi itu kepalanya terus berdentam-dentam tak karuan.

.
.
.
.
.
.
Chapter 7

"Kakek...?" Leo membuka pintu kamar. Derit suara pintu yang terbuka membuat keheningan yang mendalam. Ia terpaku di depan pintu yang terbuka. Matanya hampir memerah, namun bukan tangisan, rasa takut dan keterkejutan yang dalam membuat mata hitam kecoklatannya memandang tak percaya.

Leo masih ingat alasannya memasuki kamar ini ditengah malam yang dingin. Ia tidak bisa tertidur karena terus bermimpi buruk belakangan ini semenjak mereka memilih tinggal di mansion kakeknya yang besar.

Belum lagi kamar yang begitu luas, dingin, kosong dan sunyi terus membuatnya tak berani memejamkan mata. Seakan-akan ada yang mengintainya dari berbagai arah. Dan membangunkannya disetiap malam. Maka dari itu Leo memilih untuk memasuki kamar orang tuanya ditengah malam, berharap bisa tertidur ditengah-tengah mereka walau usianya telah memasuki remaja.

Leo tidak peduli. 'Tidak masalah' ibunya bilang. Walau ayahnya selalu mengatakan ia sudah besar untuk tidur bersama mereka. Namun mereka tetap akan menyambut Leo dan menyuruh anak laki-laki itu, tidur dengan hangat didalam selimut ditengah-tengah mereka.

Dengan hangat. Selalu.

Sinar rembulan yang temaram dalam kamar hanya berhasil masuk remang-remang namun ia bisa melihat dengan jelas bagaimana darah segar mengalir dari tubuh seorang wanita yang terbaring disudut kamar, tak bernyawa.

When The Devil Fall In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang