Entah apa yang terpikir oleh iblis itu, melihat Zuya yang terengah, rambutnya yang basah, bahu sempitnya yang terekspos, membuat Arai tak percaya dapat meneguk ludahnya. Tubuh telanjang Zuya amat menggoda mata, meski nyatanya bagian privasi lelaki cantik ini tenggelam dalam kolam.
"Ahhsss..."
Saat Zuya sadar, bibir Arai telah mendarat pada perpotongan lehernya. Menjilat. Mengecap. Arai dengan berani bahkan meremas bongkahan pantat Zuya. Ia desak tubuh lemas lelaki itu pada pohon sakura, sedangkan jemari Arai lainnya sibuk menelusuri punggung Zuya.
***
Saat mata itu terbuka, pening itu serasa menghantam kepala Zuya. Sesaat ia kembali memejamkan mata. Hanya sekejap. Ia menyadari sesuatu yang tak biasa. Selimut hangat terasa membalut raganya.
Saat itu juga ia terkesiap. Bola mata itu bergulir kesana-kemari. Menelusuri ruangan yang ditempatinya saat ini. Sekali melihat saja Zuya yakin dimana kini ia tengah berada, kamar pribadi Shogun, kemewahan khas orang nomor satu di negeri itu tampak nyata dalam penglihatannya. Yang tak Zuya mengerti, bagaimana ia bisa berbaring diranjang ini. Zuya mengingat dengan jelas semalam ia diantar Zouyen untuk berendam, ia ditinggalkan, dan saat itulah iblis itu datang. Hanya sampai disana, dan ia tak mampu mengingat lebih jauh lagi.
"Kau sudah siuman."
Zuya seketika memusatkan perhatiannya tepat dimana Arai tengah berada. Dan Arai yang sebelumnya mendudukkan diri diatas tatami membawa dirinya menghampiri Zuya. Seolah menyadari bahaya yang mendatanginya, Zuya bergegas menarik selimut. Menatap Arai dengan mata waspada.
Arai yang mendapatkan respon semacam itu menarik sudut bibirnya. Tanpa peduli pada kebencian Zuya, ia justru mendudukkan diri pada ranjang yang kini menopang tubuh keduanya.
"Apa-apaan tatapanmu itu. Kau seharusnya berterimakasih, jika kutinggalkan kau semalam, aku yakin kau sudah mati saat ini."
"Lebih baik aku mati daripada terkurung ditempat ini."
Pagi itu mendadak beku. Sebeku tatapan Zuya pada pria itu.
"Katakan itu saat kau melihat Ibumu yang tua itu terbujur kaku." Arai mengulas senyumnya. Kebencian yang menguar dari manik mata lelaki dihadapannya ini selalu membuat darah dalam dirinya menggila.
"Kau memang brengsek. Karma akan mendatangi iblis sepertimu. Tunggu dan lihat saja, tak akan lama lagi itu pasti akan terjadi."
Jari Arai menggapai segenggam rambut Zuya. Ia memainkannya tanpa memutus pandangan dari Zuya. Ia bahkan menciumi wanginya. Saat Zuya berniat menepis tangan Arai, pria itu justru menarik kasar rambut Zuya yang ada dalam genggaman tangannya. Sekejap saja dahi Zuya membentur kepalanya. Ia meringis. Pening itu kembali memaksa Zuya memejamkan mata. Zuya menyingkirkan Arai dan memegangi kepalanya. Meski apa yang ia lakukan tak sepenuhnya membuat pria itu jauh darinya.
Lelaki itu kini menyadari sesuatu membelit kepalanya. Ia meraba, mencoba mengingat apa yang terjadi hingga bagian terpenting dari tubuhnya terluka. Semalam setelah Zouyen meninggalkannya sendirian, Arai datang. Dan seperti sebuah kebiasaan, keributan tak dapat ia hindari.
Jemari Zuya meraba lehernya. Ia ingat Arai lagi-lagi melukainya seperti pertemuan pertama mereka. Ia juga menghantamkan tubuhnya. Dan setelah itu...
Napasnya tercekat. Dadanya bergemuruh. Keping-keping ingatan itu kini terangkai. Zuya ingat, Arai telah berlaku tak sopan padanya. Ia dilecehkan layaknya wanita jalang.
"Kau!" satu pukulan hendak Zuya jatuhkan, namun dengan begitu mudah Arai membaca gerakannya, hingga kepalan tangan lelaki cantik itu berada dalam genggamannya.
"Lepaskan aku Brengsek!"
"Wow... kau memang tak pernah belajar dari pengalaman," Arai kembali mengulas seringai. Tak hanya menggagalkan pukulan yang tertuju padanya, satu lengan lainnya kini juga memegangi kaki Zuya yang berniat menendangnya.
"Akan kubunuh kau jika berani menyentuhku. LEPASKAN AKU!"
Arai tahu ini pertama kalinya Zuya mengatakan kalimat seperti itu.
"Apa itu yang akan dilakukan seseorang, yang bahkan untuk membela dirinya saja membuat dia membenturkan kepalanya?"
Zuya tercekat. Dibawah tekanan Arai ia kembali memaksakan diri mengais memori. Semalam saat Arai melecehkannya, entah dengan kekuatan yang datangnya dari mana membuat ia mampu mendorong tubuh iblis itu. Ia terburu menyelamatkan diri, hingga tak menyadari dasar kolam mampu membuat tubuhnya tumbang. Hal terakhir yang terbayang dalam ingatannya adalah detik-detik dimana kepala itu membentur bebatuan. Dan setelah itu Zuya disambut kegelapan.
"Sekarang kau ingat bagaimana luka itu kau dapatkan?" Arai kembali membuka bibirnya. Ia juga menghempaskan tubuh Zuya. Lelaki itu lagi-lagi meringis nyeri akibat perbuatan tak berhati iblis ini.
Tak perlu menunggu waktu hingga Arai menempatkan tubuhnya diatas Zuya. Memegangi kedua tangannya, menekan kedua lututnya, mengunci gerakan Zuya begitu saja.
Zuya menelan ludah. Menyadari kini dirinya tanpa pertahanan, ditambah luka pada kepalanya membuat ia tak leluasa menggerakkan tubuhnya. Sekarang dia akan benar-benar mati.
Menyadari kegelisahan lelaki yang terjebak dalam genggaman tangannya membuat Arai sengaja merendahkan tubuhnya. "Sekali lagi kau membuatku kesal dipagi hari, kupastikan kau akan merasakan ini," Arai memberikan jeda hanya untuk melihat ekspresi seperti apa yang akan Zuya berikan padanya. Lelaki itu membulatkan mata tak percaya kala sesuatu menekan selakangannya. "Ereksi dipagi hari cukup sulit dikendalikan, kau tahu itu kan?" Arai berbisik tepat ditelinganya.
Bang bang bang!
"Arai!"
Seruan namanya membuat Arai menolehkan kepala. Dia tahu benar itu suara Zouyen. Mendecak kesal, ia lepaskan belenggu yang membelit tubuh tak berdaya lelaki cantik itu.
Zuya menarik napas lega saat Arai berjalan meninggalkannya. Dia mengamati Iblis itu yang tengah membuka pintu. Sosok Zouyen dan Mio tampak dalam penglihatannya. Jika Zouyen membutuhkan tak lebih dari tiga detik untuk mengacuhkan Zuya, berbeda dengan Mio yang tak lepas memandanginya.
"Ada yang perlu kita bicarakan, apa yang terjadi semalam tak semudah apa yang aku bayangkan. Fraksi-"
"Kita bicara ditempat lain," Arai menyela.
Zouyen mengerti jika Arai tak akan main-main mengenai sosok yang ia kejar ini. Pria itu berbalik pergi, diikuti Mio, disusul Arai yang menutup pintu terlebih dahulu. Sebelum pintu itu tertutup rapat, Arai membuka bibirnya dengan tatapan yang terarah pada diri Zuya.
"Akan aku tunggu saat dimana kau bisa membunuhku."
TBC
Iya tahu, dikit banget. Historical story bener-bener bikin kepala ini puyeng. Malah bikin lagi cerita baru (sekalian promosi). Thank you ^^
![](https://img.wattpad.com/cover/39453197-288-k213464.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Your Eyes
General FictionArai, iblis tak berhati yang menyeret Kazuya, lelaki yang hidup bahagia ditengah kesederhanaannya.