FACE THAT ALWAYS COME FIRST
a y u t i e n••
"JANGAN MIMPI, DEH!"
Di sebuah kantin yang ramai, Ani berteriak dengan suara lantang. Wajahnya yang cantik serupa bidadari memerah antara malu dan marah. Emosinya naik melihat Ega yang berlutut tepat di hadapannya--menyatakan perasaannya secara langsung dan meminta Ani untuk menjadi kekasihnya.
"Tapi aku sayang sama kamu, Ni."
"Tapi gue enggak!"
"Kasih aku kesempatan sekali aja ...," Ega seperti enggan menyerah.
"Apaan, sih?! Lo bikin gue malu tahu enggak!"
Orang-orang yang datang untuk makan siang kini memang lebih senang berkumpul di sekitar Ani dan Ega. Terutama saat wanita itu dengan tidak berperasaannya membuang bunga mawar yang Ega beri ke atas tanah. Padahal mawar itu terlihat sangat indah. Kembangnya yang merah segar merekah dengan batang kokoh dan daun yang hijau sempurna. Durinya bahkan sudah Ega patahkan agar Ani tidak terluka saat menerimanya. Sayang sekali jika Ani harus membuang dan menjadikannya sampah begitu saja. Jika aku jadi dia, aku akan tetap menerima bunga itu demi menghargai kerja keras Ega yang menanam langsung bunga itu sendiri dengan penuh cinta di halaman rumahnya. Ega bahkan rela diam berjam-jam di bawah hujan demi bisa melindungi mawar itu dengan payungnya. Ega sengaja menanam bunga itu sendiri karena ia ingin memberikan yang terbaik untuk Ani. Sayang, pengorbanannya tidak berujung baik. Pria itu tetap ditolak pujaan hatinya hanya karena sebuah alasan sederhana;
"Lo tuh jelek! Aneh! Gue enggak mau sama laki-laki kuper kayak lo yang lemah dan enggak bisa diandalkan!"
Sebagai laki-laki berego tinggi, seharusnya Ega marah saat ini. Harga dirinya sudah diinjak-injak oleh Ani, dan di depan banyak orang pula. Aku berharap Ega mengamuk dan mengatai Ani balik karena sudah bertingkah sombong dan semena-mena. Tapi ternyata tidak. Ega tidak marah sama sekali. Yang ia lakukan malah makin memperendah dirinya dengan menatap Ani lembut dan mulai meyakinkannya sekali lagi agar mau mempertimbangkan cintanya yang sudah ia pendam semenjak kelas satu kemarin.
"Pokonya, sampai kapanpun gue enggak sudi pacaran sama lo. Jadi jangan deket-deketin gue lagi. Lo udah bikin gue malu, Ga! Gue benci sama lo!"
Oh, ingin rasanya aku mencakar wajah mulus tanpa jerawatnya Ani dengan garpu batagor. Aku akan maklum jika ia menolak Ega di tempat, tapi tidak dengan cara sekasar tadi, membuatnya terlihat seperti wanita jahat yang hanya bagus di casing-nya saja. Hatinya, sih, sama buruknya dengan kutil ayam.
Bisik-bisik tetangga menguar tepat saat Ani pergi meninggalkan Ega yang masih tertunduk lemas di posisinya. Ia bahkan belum sempat berdiri saat suara tawa pecah di beberapa tempat. Kerumunan yang tadi sempat terbentuk juga sudah bubar sedari tadi. Aku memilih mendekatinya, menepuk pundaknya beberapa kali.
"Udahlah, Ga. Mungkin belum jodoh," kataku.
"Jangan kasihanin gue," Ega menyingkirkan tanganku lalu pergi begitu saja. Aku menghela nafas panjang.
"Ck... ck... ck... si Ega itu besar juga nylinya." Aku menguping suara yang datang dari meja sebelah. "Dia enggak sadar apa kalau nembak Ani di depan umum sama aja kayak nyari mati?"
"Namanya juga cinta." Yang lain menimpali.
"Cinta juga harus ngaca kali."
"Tapi kasihan Ega ditolak gitu,"
"Ya mau gimana lagi? Si Ani itu, kan, cantiknya gila-gilaan. Seksi. Anak orang kaya pula. Mana mau dia nerima orang kayak Ega yang dibedakin segimana juga, ya masih gitu-gitu aja mukanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Chronicle Of Ugly People
Historia CortaKetika orang-orang yang tak rupawan itu jatuh cinta...