"Gila lo. Masa cuma gara-gara berantem sama nyokap, lo kabur ke mari dan daftarin diri ke jurusan Sastra biar bisa ketemu bapak lo? Anjir gilanya."
Mendengar gerutuan Mayang, aku hanya bisa ber hah-hoh-heh sambil menata barang-barangku di kamar kosnya untuk nebeng sementara waktu sampai aku menemukan tempat sewa lain.
"Banyak bacot. Tampung gue dan diem bisa kali."
"Ya nggak gitu juga. Masalahnya ibu kos sini galak, nggak bisa sembarangan nerima orang."
"Alaaaah kasih aja duit. Nanti juga diem sendiri."
Mayang tidak tahu kalau uang bisa melakukan segalanya. Selama aku hidup, ibuku menggunakan uang untuk segala hal. Menguasai dan mendapatkan apapun yang diinginkannya. Sambil mendengarkan khutbah paginya, aku menghitung jumlah pakaian yang kubawa dari Bali kemari. Tidak terlalu banyak memang. Aku bisa membeli lagi di sini.
Begini, kukatakan padamu, tujuanku kemari tidaklah muluk-muluk. Aku ingin lepas dari belenggu kediktatoran ibuku yang berusaha menjadikanku bonekanya wajib menuruti permintaannya, biarpun itu konyol. Kami terlibat pertengkaran sampai akhirnya aku memutuskan keluar dari rumah dan datang ke Jakarta, mencari ayahku yang katanya bekerja sebagai dosen di sebuah universitas. Kami tak pernah bertemu. Maksudku, aku tak pernah mengenalinya. Yang kutahu hanya foto dan riwayatnya setelah mati-matian kucari dari berbagai sumber—bonus, mencurinya dari kamar Mama. Untung aku memiliki banyak teman di sepenjuru negeri ini. Kalau aku tidak pandai berbasa-basi sebelum membutuhkan bantuan orang lain, mungkin sampai sekarang aku tidur di terminal seperti gelandangan.
"Nanti kalau lo diomelin sama ibu kos, jangan bawa-bawa gue loh."
"Iya."
Karena tak pernah bertatap dan berbicara dengan ayahku, sungguh mustahil tiba-tiba saja aku masuk ke dalam kehidupannya dan memperkenalkan diri sebagai putrinya. Bisa-bisa skandal antara dosen dengan mahasiswa menjadi gosip terpanas di sini. Aku dituduh gila dan Papa dipecat. Well, aku tidak segoblok itu membahayakan posisiku dan posisinya. Untuk mengenalnya, aku perlu taktik jitu, biarpun gila. Masuk ke sebuah perkuliahan yang tak pernah kubayangkan selama tarikan napasku.
Seperti hari ini.
Ini adalah awal pertamaku sebagai mahasiswi magister Ilmu Susastra, jurusan yang 'eww' dan hanya dihuni kutu-kutu buku busuk. Kalau bukan terpaksa, mana sudi aku datang ke perkuliahan ini dan mendengarkan penjelasan membosankan di kelas. Berkali-kali aku menguap, mengetukkan jemariku, dan akhirnya tertidur di kelas sampai teman di seberangku membangunkan aku.
Hal tersebut terjadi setiap hari, sampai aku bertemu dengan seorang pengajar yang membuatku terjaga dan mengawasinya dari jauh.
"Selamat datang mahasiswi-mahasiswi baru. Selamat menempuh pendidikan di universitas ini," sapanya seraya membenakan kacamata dan mengedarkan pandangan ramah ke seantero ruangan. "Ini adalah pertemuan awal kita dalam aktivitas perkuliahan. Perkenalkan, nama saya Narayana Notonegoro. Saya yang akan mengajar kalian di mata kuliah Teori-Teori Kritis."
Ia mulai mendeksripsikan apa saja yang kami pelajari selama satu semester. Pembawaannya yang bersahabat dan ramah seperti tak memberikan jarak antara mahasiswa dengan dosen. Bahkan beberapa temanku mengajaknya bercanda dan ditanggapi dengan tawa.
Aku mungkin satu-satunya mahasiswa yang diam mengamatinya di bangkuku. Berkenalan dengan cara aneh. Untuk memahami orang, hanya dibutuhkan beberapa waktu saja bagiku sampai aku bisa menilai apakah ia layak menjadi bagian hidupku. Dan orang di depanku ini, mengapa ia meninggalkanku saat Mama mengandungku? Orang yang sangat ramah dan bersahabat ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
SAMSARA (ON HOLD)
Historical FictionTidak tahan dengan kediktatoran ibunya membuat Agnia Zarathustra memilih kabur dari rumah dan melempar dirinya untuk melanjutkan studi magister di Ilmu Susastra hanya untuk bertemu dengan ayahnya yang bekerja sebagai dosen di sana, meskipun ia tidak...