T W O

17 2 0
                                    

Jangan lupa untuk memberikan vomment or cote! :)

"Lo kira makasih doang tuh cukup?"

T W O

Bria melihat Raga dengan aneh. Nih anak, udah gue terima kasih-in bukan bilang sama-sama, malah ngomong lain, batinnya

"Maksudnya?" Tanya Bria tak mengerti

"Ya lo kira didunia ini ada gitu yang serba gratis? Ya harus ada imbalan, lah." tukasnya dingin

Bria mengerutkan keningnya masih tak mengerti sambil tersenyum. "Oh, haha iya, pastilah, terus maksudnya apaan?"

Raga mendongakkan kepala dan menghembuskan nafas lalu kembali menatap Bria. "Lo harus tanggung jawab, sebagai gantinya, lo harus-"

"Tunggu deh, tanggung jawab? Gila lo! Mecahin guci jutaan aja gue kagak!" Seru Bria. Ia semakin tak mengerti apa yang Raga katakan. Cowok itu terlalu membingungkan.

"Masih untung, tadi gue tolongin, coba kalo gak ada gue? Masuk penjara aja." Ucapnya dengan dingin

Bria mendumel didalam hati. Ih, coba aja gue gak ke Gramedia, gak bakal gue ketemu sama nih anak!

Raga ganteng, Mama Bria pasti suka, sudah tinggi, jika disamakan dengan Bria, kepala Bria hanya sampai di mulut Raga saja, cuek, dingin, datar, hah ngomong saja tidak memerhatikan nada dan intonasi.

Bria merengut. "Ih yaudah lama, gue harus ngapain?"

Ada binar di mata Raga dan ia tersenyum puas sebelum kembali datar. "Lo jadi pacar gue dua bulan ini."

Mulut Bria membuka sedikit, matanya mengerjap beberapa kali. Bangunin gue sekarang juga, kalau ini mimpi.

Ya Allah...

"Lo lagi bercanda kan? Cowok yang baru aja gue kenal , cukup dramanya, hidup gue udah terlalu banyak drama." Bria berucap, ia memutar bola matanya

"Gue se ri us." Ucap Raga dengan penekanan

Bria menelan ludahnya, lidahnya terasa kelu, diam beberapa detik menyiksa dirinya, ia membayangkan saat ini ia sedang berada di posisi dimana ia menemani Nadhira belajar di rumah gadis itu. Tapi tidak, ia sekarang berada di sini, di hadapan Raga yang terlihat menunggu jawabannya.

"Dan kalo misalkan gue... gak mau?" Tantang Bria

Raga menaikkan bahunya. "Ya gampang, gue setiap harinya bakal ke sekolah lo, nga-"

"Lo kira gue anak SMA?!" Potong Bria tak terima. Kalau gak ganteng, mungkin gue udah jadiin dia sop ayam! Sungut Bria. Sepertinya hari ini ia cukup memaki dalam hati.

"Dilihat dari porsi badan lo, iya." Ucapnya datar, tak memperdulikan perasaan Bria yang sedikit terhina gara-gara dirinya merasa dikata-katai.

"Satu, gue udah kuliah, yang kedua, Ih jauh-jauh sono! Ganggu hidup orang aja!" Seru Bria mendorong bahu cowok yang baru ia kenal satu jam yang lalu.

Tapi Raga tak selemah itu, ia malah memegang tangan Bria untuk memberhentikan aksinya memukul bahu cowok itu.

"Tolongin gue," Ucap Raga datar

"Bilangnya ke Pak Polisi yang kumis lebat tadi, bukan ke gue," tukas Bria tak peduli

"Bria, eh nama lo Bria ya, gue serius." Tangan Raga masih memegang tangan Bria. Sejujurnya, cowok itu sedikit nyaman dengan ukuran tangan Bria yang pas di tangannya

"Oke, emang kenapa, kasih alasan kenapa gue harus jadi pacar lo."  Bria menatap lurus Raga

"Gue bakal kasih tau, tapi gak sekarang, besok, atau minggu- minggu ke depan, yang penting lo harus mau, dan gue pikir gak ada penolakan." Ucapnya sebelum melepaskan tangan Bria dan mendahului cewek itu

Bria menggerutu kesal, menghentakkan kakinya, menonjok tembok, atau apapun yang bisa membuat kekesalannya surut. Ia menghela napas. "Raga tunggu!" Teriaknya

Ketika langkah kaki Raga bisa ia sejajari, ia menoleh ke Raga. "Gue mau, tapi ada syaratnya, gue janji ini gak bakal banyak,"

Raga mengangguk. "Gue mau ngikutin syarat lo, asalkan setelah ini nggak ada syarat apapun, kecuali gue yang berhak kasih syarat kapan pun gue mau,"

"Dih gak adil dong," protes Bria

"Atau gue sama sekali gak nge bolehin lo kasih syarat." Lanjut Raga

"Oke, fine, lo menang. Gue mau, kita, maksudnya, gue dan lo, gausah saling campur urusan pribadi, pokoknya kita pacaran biasa aja, lo ngerti?"

Raga memikirkan sebentar. "Gue setuju."

"K."

Raga kembali melangkahkan kaki, Bria yang melihatnya lantas melangkahkan kaki untuk mengikuti cowok itu tapi, tiga langkah kemudian, ia berhenti sejenak, dan tertegun. Gue kan bawa mobil, lagian ngapain juga gue ngikutin dia, duh.

Ia berbalik arah ke tempat mobilnya di parkir. Lalu se detik kemudian ia lagi lagi harus merutuki dirinya sendiri sadar atas kebodohannya bahwa mobilnya berada di arah berlawanan dari sini. Itu berarti harusnya, ia tak perlu putar balik.

Gara-gara tadi, gue gak konsentrasi kan!

◀▲▶

Bria memasuki rumahnya re: rumah orangtuanya. Ia tidak memilih tinggal di tempat kos karena jarak dari rumah ke tempat kuliah hanya memerlukan waktu dua puluh menit, dan jika misalkan Bria ngebut, hanya butuh waktu sepuluh menit. Sama seperti Nadhira. Toh, juga faktanya Nadhira dan Bria adalah tetangga yang rumahnya berseberangan.

"Kenapa lesu?" Tanya Ayahnya

"Gak, gak apa-apa, Yah. Bri ke atas ya." Tanpa menunggu jawaban Ayahnya, ia menaiki tangga dan masuk ke dalam kamar dengan nuansa serba abu-abunya dan warna silver.

Ia merebahkan tubuhnya ke tempat tidur. Capek untuk melihat keesokan harinya, dan terlalu capek melihat kejadian yang belum lewat dari dua puluh empat jam yang lalu.

Tapi apalah daya, jika otak kita kembali ke masa yang sudah terjadi. Tak ada yang bisa menyangkalnya. Jikalau pun bisa, pasti akan terpikir terus.

Dari mulai ia terus menarik tangan Nadhira, sampai ke dalam Gramedia dan ketemu cowok tampan tapi sayangnya dingin, kaku, cuek. Alarm toko buku berbunyi. Ruang kurang penerangan. Pak Polisi berkumis tebal. Raga. Imbalan yang ia berikan kepada Raga. Perjanjian.

Dan yang selalu ia tidak pernah ter pikirkan adalah menjadi pacar Raga untuk dua bulan tanpa tahu alasan dibalik permintaan Raga.

Dua bulan.

Ia tak bisa bayangkan, belum seminggu, tapi sudah cukup membuat beban. Bertemu cowok dingin itu sepertinya hal tersial dan terburuk yang pernah ia alami.

Bria mengambil guling dan memposisikan dirinya menjadi miring menumpukkan tangannya di pipi kirinya dan terlelap sampai esok.

◀▲▶

Pendek? Maaf:)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 17, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

We MeetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang