Setelah kejadian malam itu, aku sedikit menjauhi Tino. Meskipun itu sudah berlalu berbulan-bulan. Entah, apa yang membuat cowok itu gak punya titik peka. Sekalinya punya pasti dia gak punya mental buat ngungkapin.
"Res..," Panggil seseorang membuatku mencari asal suara itu. Aku menoleh kesana kemari.
"Heii.. Disini..." akhirnya aku mendongak. Dan mendapati Tino ada di lantai dua. Aku sedikit menyipitkan mataku. Sinar matahari yang masih bertahta membuat silau pengelihatanku.
Aku tidak perlu bertanya 'ada apa', cukup menunggu dia meneruskan kalimatnya.
"Pulang bareng yuk..," Ajaknya dengan seulas senyum.
"enggak ah.. aku pulang bareng temenku..," tolakku dan langsung dibalas tatapan yang menyebalkan.
"Siapa?" sial. Lagi-lagi ia menanyakan kata yang sama setiap aku mengatakan 'temanku'.
"Heii.. duniaku gak sesempit daun kelor ya..," aku mengelak sekenanya.
"haha.. kamukan gak punya teman selain aku.. hahaha..." Ia malah tertawa renyah. Aku tidak mencium bau humor dalam kalimatnya. Malah sebaliknya. Kalimatnya bagaikan pisau yang menyayat secara perlahan. Dan aku yang geram berlalu meninggalkannya. Baru beberapa langkah, lagi-lagi ia kembali memanggilku namun tidak membuatku menoleh.
"Kenapa Res ? Kamu kok jauhin aku? Ada yang salah sama aku?" Tanya membuatku tersentak. Ternyata selama ini dia sadar bahwa aku menjauhinya. Dasar cowok. Sekarang kalimatnya terus terniang di telingaku.
"Kamu gak salah kok. Yang salah tu aku," ucapku sedikit serak. Kuremas rok sekolahku. Kulampiaskan semua perasanku padanya. " Kamu? Salah kamu apa? "
"Salah aku? Salahku adalah mengganggu pacar orang lain..." suaraku seperti tercekik. Aku tidak bisa menjamin bahwa ia dapat mendengarnya jelas. Aku langsung melangkah cepat. Lebih cepat dari sebelumnya.
Aku berlari menjauhi Tino. Berharap bahwa Tino tidak bisa mengejarku. Padahal belum tentu Tino mengejarku juga. Aku berhenti dan menyempatkan untuk menoleh. Tidak ada tanda seseorang mengejarku. Aku merasa sakit. Air mataku sudah menderas. Aku kembali berlari menjauhi gedung sekolah. Belum jauh dari pijakkanku aku malah menabrak seorang siswa laki-laki yang membuatku jatuh tersungkur. Aku merintih dalam tangisku.
Aku masih menangis sesegukan. Belum sempat bangkit tapi aku melihat uluran tangan. Aku menatap wajahnya yang tertimpa sinar matahari. Wajahnya tidak terlihat jelas tapi yang jelas aku menerima uluran tanganya.
Alih-alih berdiri aku melihat sosok Tino berlari kearahku. Aku bangkit dan langsung memeluk laki-laki itu. Laki-laki itu sedikit tersentak tapi akhirnya ia tidak banyak berontak dan membiarkanku menangis di peluknya. Laki-laki itu tidak membalas pelukanku tapi aku tidak peduli. Sepertinya Tino berhenti melangkah dan menatapku sendu. Sampai ada suara seseorang yang sangat aku kenal. Meski baru beberapa kali mendengarnya. Itu ada suara Fifi yang memanggil nama Tino.
Saat itu juga aku melepas pelukan dan langsung berlari sekuat tenagaku dan sekencang-kencang yang aku bisa. Sampai di tengah jalan aku berhenti dan mengatur nafasku. Tangis masih deras berderai air mata. Semakin jauh melangkah semakin sakit perasaanku.
***
Semilir angin yang membawa hawa sejuk membelai telingaku manja. Rambutku yang tergerai langsung kunaikkan agar leherku bisa merasakan angin yang berhembus.
Sudah beberapa bulan terakhir Tino berubah. Membuat aku harus ikut berubah. Tino selalu mengambil alih semua tugas yang dibebankan pada kami. Dan tidak memberikkan sedikit tugas untukku. Kalau begini apa bedanya Wakil Ketua kelas dengan siswa biasa. Aku mendesis sebal memikirkan kenyataan ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kau Tau Rasanya Menunggu (Cerpen 4 Part End )
ContoAlviantino Febrisan - " Maafkan aku telah membuatmu menunggu dan juga menangis... " & Restiana Swantika Lestari - " Kuhabiskan waktuku untuk menunggumu dan menangisimu.. "