Sore ini rumah Tino sudah diramaikan oleh banyak orang yang membantu mengangkut barang-barangnya. Aku berlari memasuki halaman rumah Tino. Nafasku terengah-engah sambil memegangi lututku.
Sedetik kemudian aku merasakan tangan hangat tante Rosa, mamanya Tino. "Ada apa Resti?? Kok pada berdarah gini ?" tanya tante Rosa cepat meraih tubuhku.
"Tino mana tante?" Tanyaku tak mengindahkan pertanyaan Tante Rosa. Aku celingak-celinguk mencari batang hidungnya.
"Tenang dulu Res.. sabar. Ada apa ? cerita sama tante..." tangan tante Rosa meraih kedua tanganku. Berusaha mengambil alih kontrol diriku. Ia memastikan sejuta harapan padaku. Aku langsung memeluknya erat.
Tante rosa tidak membiarkanku memangis diluar, akhirnya ia membawaku masuk kedalam kamar. Kamar yang aku tau siapa pemiliknya. Ini kamar milih Tino. Aroma ruangan yang semerbak memenuhi penciumanku.
Tante Rosa dengan gesit membersihkan luka di kedua lututku dan juga disiku kananku. Mungkin jika ada Tino pasti dialah yang melakukannya padaku.
Selesai menempelkan plester luka aku langsung ditarik kedalam pelukannya. Hangat dan kini tante Rosa mulai sesegukan juga. Aku rasa ada sesuatu yang salah.
"Ada apa tante?" suaraku parau sudah.
"Selama ini Tino gak pernah cerita apa-apa ya sama kamu?" tanyanya masih membuahkan pertanyaan lagi bagiku. "Tentang apa tante?"
"Mungkin saatnya kamu tau. Bahwa Tino itu..." Kalimatnya menggantung begitu saja. Jantungku sudah berdebar hebat. Menunggu kalimat terusan yang mungkin saja meledakkan perasaanku.
"Tino kenapa tante?" Tanya sedikit serak karna lagi-lagi air mataku lolos begitu saja.
"Tino sakit sayang.."
Tangisku mulai pecah bersama tante Rosa. Aku ingin bertanya sekali lagi agar semua jelas adanya. Tapi tangisku tidak memperbolehkanku berbicara lebih banyak dari ini. Aku serasa menjerit dalam bungkam tangisku.
"Sebenarnya sudah lama Tino mengidap penyakit Jantung koroner. Ia meminta tante buat rahasiain ini semua sama kamu."
Aku tidak pecaya dengan penjelasan tante Rosa. Ini terlalu menyakitkan bagiku. Terlalu sulit untuk dipercaya. "Hahaha.. tante jangan bercanda ah..," aku mencoba tertawa menebak semuanya adalah fiktif belaka. Tapi tante Rosa malah kembali menarikku dalam dekapannya. Dan mengelus rambutku manja.
"Tante juga pingin bilang kalau tante bercanda sayang.."
Aku tak kuasa lagi menahan sakit dalam jiwaku. Aku merasa sakit hati atas semua kejadian ini.
"Res.."
Aku terbelalak mendengar seseorang memanggilku sangat lirih. Aku menoleh ke arah pintu kamar Tino. Aku melihat sosok di ambang pintu dengan wajah yang sangat pucat pasi. Tidak pernah aku melihat seorang Tino sepucat itu. Aku langsung bangkit dan berlari ke pelukkannya. Mungkin ia tidak begitu siap sampai ia hampir jatuh karna dekapanku. Ia mengusap puncak rambutku penuh kasih sayang. Aku masih menangis sesegukkan dan mendekapnya erat. Tidak menyisakan jarak sesentipun untuk kami.
Alih-alih aku yang kembali hanyut dalam tangisku, Tante Rosa berlalu meninggalkan kami berdua. Membiarkan kami dalam pelukan satu sama lain. Merasakan jiwa yang lama hilang.
Aku masih menikmati keteduhan kali ini. Perasaanku yang dulu terasa kembali menyatu. Berbaur nyata di setiap detiknya.
"kamu jangan tinggalin aku, Tin..," pintaku sesegukkan.
"Seandainya aku bisa ya.. aku gak janji loh..," ucapnya tetap tegar.
"Gak!!! Kamu harus janji sama aku.. kamu gak akan pergi dari aku. Gak bakal ninggalin aku," bentakku sepihak membuat dia tertawa kemudian berakhir dengan beberapa batuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kau Tau Rasanya Menunggu (Cerpen 4 Part End )
ContoAlviantino Febrisan - " Maafkan aku telah membuatmu menunggu dan juga menangis... " & Restiana Swantika Lestari - " Kuhabiskan waktuku untuk menunggumu dan menangisimu.. "