5 - Rena

44 5 3
                                    

Saat ini, Rena sedang berada di roof top sekolah bersama dengan Austin--teman masa MOS nya.

"Kenapa sih semua cowok itu sama?" ucap Rena memulai percakapan.

"Maksud lo?" balas Austin.

"Cowok itu diawal cuma bisa buat cewek terbang, eh akhirnya dijatohin lagi. Kalau niat kayak gitu 'kan mending sekalian nggak usah," gerutu Rena.

"Disini gue cowok lho Ren, apa gue seperti yang lo bilang tadi?"

"Jelas lah karena elo 'kan cowok."

"Main asal jeplak aja lo, coba lo gali lebih dalam jati diri gue. Pasti lo akan berubah pikiran," ucap Austin.

"In your nightmare," balas Rena kesal.

"Gue serius Ren, kalau lo butuh apa-apa panggil aja nama gue tiga kali. Kalau gue denger, gue pasti bakal ada saat itu," ucap Austin dengan kepedeannya.

"Basi ah."

Setelahnya hanya ada hening yang menyelimuti keduanya. Tidak ada yang memulai percakapan. Sampai beberapa menit, Austin mulai mendengar isak tangis pelan. Austin menengok ke arah Rena dan ternyata dia adalah sumber suara itu.

"Ren lo kenapa?"

Shit Austin, pake nanya segala lagi. Batin Austin.

"Apa cewek kayak gue cuma ditakdirkan untuk tersakiti?" ucapnya sambil sesegukan.

"Nggak Ren, lo jangan kayak gitu. Seharusnya cewek seperti elo itu ditakdirkan untuk gue lindungi, yega?" balas Austin, terdengar seperti hiburan tapi terdengar seperti kata-kata tulus ditelinga Rena. Mengingat Austin mengatakannya dengan pelan.

"Apaansih lo!" ucap Rena sambil tertawa menyembunyikan semburat merah dipipinya.

"Yaudah, kalau lo masih mau nangis. Sini deh dipundak gue." saran Austin sambil menepuk pundaknya.

Renapun menempatkan kepalanya dipundak Austin. Dan air mata Rena masih terus keluar tanpa henti.
Sekitar sepuluh menit, akhirnya tangis Rena mulai mereda. Mengingat, ia sudah menangis sejak istirahat sampai sekarang--ya mereka berdua bolos.

"Thanks ya Austin," ucap Rena sambil menghapus air matanya.

"Iya sama-sama Ren, gue akan selalu ada kok," balas Austin. "Yaudah yuk masuk kelas, mumpung bel ganti pelajaran udah bunyi," lanjutnya.

Rena mengganguk lalu bangkit dari duduknya. Begitu pula Austin.

"Lain kali, jangan kayak gini lagi ya. Gue nggak suka liat lo nangis. Nanti cantiknya ilang," celetuk Austin sambil mengacak rambut Rena lalu melenggang pergi saat Rena masih terpaku oleh kata-katanya.

Austin? Yang benar saja aku telah jatuh pada pesonanya. Batin Rena

Tapi diam-diam Rena tersenyum kecil dan segera turun dari roof top dengan perasaan yang membaik.

(-)

Hai! Hope u like it! Maaf kalau mainstream, gak jelas, dan sebagainya. Ku dah berusaha yang terbaik. Thank you

-L

TB [1] : Love in SquareTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang