Part 1

541 77 33
                                    


Kalau aku tahu akan terjebak dalam cinta semu ini, aku memilih untuk tidak memulainya. Terlihat sederhana namun akan menjadi rumit jika kau terjebak terlalu dalam, sulit keluar. Ya hal inilah yang sedang kualami, pertemuan yang tak kusangka-sangka akan berakhir seperti ini. Semua dimulai dimasa putih abu-abuku. Seperti kebanyakan remaja pada umumnya aku mengenal cinta. Rasa yang merupakan fitrah dari-Nya.

Tak henti-hentinya aku melihat arlojiku, mengapa waktu terasa begitu lama saat pelajaran Matematika. Hah..... Ku hembuskan napas dengan berat, aku sungguh bosan sekarang ditambah rasa kantuk yang menyerang. Lengkap sudah. Ibu Anna masih menulis rumus-rumus di papan tulis. Kumpulan rumus tersebut seperti benang kusut di mataku, membuatku semakin pusing.

"Lo kenapa Rav?" tanya Febhita, sahabatku.

"Ngantuk gue, gak ngerti tuh ibu ngomong apaan. Mending gue tidur deh ya," ucapku seraya mencari posisi duduk yang nyaman untuk tidur. Kubenamkan wajahku kelipatan tanganku. Nyaman sekali. Tak butuh waktu lama aku telah sampai di alam mimpiku.

"Ravayla, kamu tidur ya?" tanya seseorang. Mungkin hanya mimpiku.

"RAVAYLA PERIZGA KAMU BENERAN TIDUR, SEKARANG KERJAKAN SOAL DI PAPAN TULIS!"

Suara menggelegar dari Ibu Anna berhasil membangunkanku dari tidur kilatku ini.

"Saya tidak tidur bu, saya sayang ibu," kataku cepat dan asal.

Terdengar suara tertawa dari teman sekelasku.

"Sekarang cepat kerjakan soal di depan!" perintah Ibu Anna.

Kukerjakan angka-angka tersebut dengan santai. Ini mudah untukku.

"Bagus, jawaban kamu benar. Kamu itu genius Ravayla, tapi kenapa kamu selalu tidur dimata pelajaran saya?"

"Itu suara ibu kayak nyanyian nina bobo buat saya. Saya juga gak ngerti bu, kalau dengar suara ibu itu otak saya kayak merintahin saya buat tidur," jawabku dengan cengiran donkey.

Ibu Anna hanya geleng-geleng. Walaupun aku benci matematika, namun nilaiku selalu bagus di pelajaran itu. Itu yang membuat Ibu Anna tidak pernah bisa memarahi tingkahku.

Bel pergantian les pelajaran telah berbunyi, Ibu Anna keluar dari kelas. Pelajaran musik. Huaaaa ini lebih menyebalkan dari matematika, mengingat tidak ada satupun alat musik yang aku kuasai. Pak Randy, lelaki berambut panjang itu memasuki kelas. Hari ini kami diminta untuk bermain gitar.
Apa aku belum bangun dari tidurku? Mengapa mimpi ini buruk sekali.

"Ravayla, cepat petik senarnya!" Perintah Pak Randy.

"Hehehe saya ga bisa pak." Lagi, dengan cengiran khasku.

"Sampai kapan kamu seperti ini? Kamu tahukan jika nilai musik kamu selalu saja remedial, kamu bakalan tinggal kelas mengingat sekolah kita ini sangat mementingkkan nilai musik dibanding yang lain. Sepertinya saya harus kasih tahu orang tua kamu."

Ya sekolahku memang lebih mementingkan seni dibanding eksak karena menurut mereka dengan ketenangan yang diberikan dari musik ataupun seni lainnya siswa bisa dengan mudah menyerap pelajaran lainnya. Sangat berbeda dengan sekolah-sekolah di Indonesia yang kepintaran siswanya diukur dari nilai matematika.

"Yaah bapak, gak asik banget, jangan kasih tahu orang tua saya dong, Pak. Kalau orang tua saya tahu, saya bakal dimasukin les musik. Bisa stres saya."

"Nah ide yang bagus. Saya akan minta orang tua kamu buat masukin kamu les musik."

Mampus salah ngomong.

***

"Tadi Pak Randy telpon mama, besok guru les kamu datang. Kamu gak bisa nolak, kalau kamu nolak, ponsel kamu mama sita." Ancam mama.

7thTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang