Part 3

211 61 12
                                    

Kak Felix. Kak Felix malaikatku? Bagaimana bisa Kak Felix di sini?

"Heh! Kalian sekolah cuma buat bully orang? Dan lo, cowok macam apa yang nindas cewek kayak gini? Oh apa masih pantas lo dibilang cowok? Hahaha banci lo, cih!" kata-kata Kak Felix sangat menusuk.

Kak Felix berjalan ke arahku dan membalut tubuhku dengan jaketnya kemudian membawaku pergi menjauh dari iblis dan siluman itu.

***

FELIX POV

Baru saja aku mendapat pesan singkat dari Rafa untuk menjemput Ravayla di sekolahnya karena Rafa ada urusan mendadak. Aku bersedia hitung-hitung sekalian minta maaf dengan gadis itu. Sesampainya di sekolah, sekolah tampak sepi. Kuputuskan untuk masuk dan mencari Ravayla di dalam sekolah setelah tidak melihatnya di luar pagar. Hanya tinggal siswa yang mengikuti ekskul di sini. Kususuri koridor kelas 11 hingga aku mendengar ada sedikit keributan.

"Gue lebih kasian dengan lo yang selalu berusaha ngalahin gue. Gue tahu lo itu gak sanggup ngalahin gue makanya lo manfaatin Agam. You are loser Alina Gabriella!"

Terdengar suara Ravayla bergetar karena menahan tangisannya. Kulihat tangan seorang gadis yang kutahu namanya Alina Gabriella terangkat ke atas. Dengan sigap aku menangkap tangannya sebelum mendarat di pipi Ravayla. Bullying, cih selalu saja. Mengapa ada saja orang yang merasa dirinya hebat dan menindas orang yang lebih lemah. Emosiku memuncak saat melihat kondisi Ravayla yang sangat kacau, penuh dengan tomat busuk. Mungkin jika saja hanya gadis siluman itu yang menjadikan Ravayla seperti ini aku masih bisa memaafkannya, tapi ini ada lelaki. Lelaki macam apa yang menyakiti wanita.

"Heh! Kalian sekolah cuma buat bully orang? Dan lo, cowok macam apa yang nindas cewek kayak gini? Oh apa masih pantas lo dibilang cowok? Hahaha banci lo, cih!" kucoba untuk menahan emosiku. Percuma saja aku mengotori tanganku dengan menghajar anak ingusan itu.

Aku berjalan mendekati Ravayla dan membalut tubuhnya dengan jaketku. Keadaannya sungguh memprihatinkan. Kubawa dia menjauh dari tempat itu. Kuberikan helm kepadanya. Ravayla hanya diam dan menundukkan kepalanya.

"Pegangan Vay!" perintahku saat akan melajukan motorku.

Dia hanya menurut dan menarik bajuku. Aku tak langsung membawanya pulang. Aku takut Tante Tania khawatir melihat kondisi anaknya saat ini. Ravayla masih saja terisak di punggungku. Apa yang sebenarnya terjadi hingga ia benar-benar kacau?

"Ka-kak i-ni bu-kan ja-jalan ke-rumah Vay," katanya masih terisak.

"Tu-nggu, kakak mau culik Vay ya? Helep mee heleep gue diculik om-om kesepian," teriaknya.

Gila lagi nangis juga masih sempat bikin onar. Ravayla memukul-mukul punggungku.

"Heh! Siapa juga yang mau culik kamu. Emang kamu mau pulang dengan kondisi kayak gini. Jadi jangan banyak protes."

Dia hanya terdiam, bisa juga ia menurut. Motorku berhenti di sebuah danau yang sering aku kunjungi jika sedang ada masalah. Danau ini tak banyak orang yang tahu keberadaannya.

"Udah sampai Vay," kutarik tangannya dan membawanya ke tepi danau ini.

"Sekarang, kamu luapin semua beban yang ada di diri kamu. Teriak sekencang-kencangnya."

"Apaan sih kak, kayak anak kecil aja."

"Udah lakuin aja."

Ditariknya napas panjang dan berteriak,

"GUE BENCI LO GAM. BODOHNYA GUE YANG SAYANG KE ELO. GUE BENCI LO HUAAAAAAAA."

Jadi lelaki itu yang membuat Ravayla begini. Bisa kurasakan betapa kecewanya gadis ini.

7thTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang