Di sebuah bar, suara hiruk-pikuk pelanggan bergema dari dalamnya. Para penikmat alkohol sedang bersenang–senang karena pahlawan mereka mendapat nilai baik di penilaian awal Liga Pahlawan dalam menentukan siapa Pahlawan terbaik tahun ini.
Kebanyakan dari mereka adalah orang–orang yang pernah ditolong oleh pahlawan itu,
"Untuk Jah Faaron Pahlawan kita, mari bersulang!" ajak seorang pria berambut putih.
Peminum lain membalas ajakan itu. Mereka mengangkat gelas mereka dengan gembira, melakukan sulang kepada sesama dan terus memuji kepahlawanan Jah Farron.
"Farron si ombak besar, dia pantas menerima penghargaan pahlawan terbaik. Kalau tidak ada dia maka sekarang aku tidak berada disini, bersama kalian menikmati segelas bir dingin ini," kata seorang pria kurus bermata seperti ikan mati.
"Benar ! Benar!" sahut yang lain bersamaan.
"Fuahhhh, aku masih tidak bisa melupakan aksinya menebas pasukan Groc yang menyerang kotaku. Pedang besarnya, sekali diayunkan, lima Groc kehilangan kepala, ha ha ha!" sahut pria gemuk yang memakai kacamata setelah menenggak gelasnya.
"Ha ha ha, tapi tidak ada yang mengenal Farron seperti aku!" kata pria setengah baya yang matanya kirinya buta. Ia mengedarkan pandangan ke sekelilingnya yang menunggu ia bercerita lebih lanjut.
"Bisa dibilang aku salah satu orang yang pertama kali mengenal kepahlawan Farron. Aksi kepahlawanannya dimulai dari desa kecilku," sahut pria itu lagi sambil menenggak gelas ketiganya.
Penikmat lainnya berbisik–bisik mengenai apa yang dikatakan oleh pria itu, dan mereka mendesak agar pria itu menceritakan bagaimana pahlawan mereka Jah Farron si ombak besar melakukan aksi perdananya.
"Desaku sangat indah, kami hidup dengan bertani. Suatu hari tanpa ada peringatan darimanapun, tiba–tiba segerombolan Harpy menyerang desa kami, Sial! Mereka membunuh, dan mengambil hasil panen kami," kata pria itu geram mengingat peristiwa itu. Ia menggenggam erat gelas birnya sambil menahan amarah.
"Semua sia–sia, kami tidak mampu melawan gerombolan Harpy itu, banyak saudara sedesaku yang mati sia–sia karena menyerang dengan serampangan, termasuk kakakku, kepala desa. Kami pasrah, dan hidup dalam ketakutan, tapi tidak lama kemudian seorang pemuda tinggi besar datang ke desa kami. Ia menghajar gerombolan Harpy itu, dengan sebuah pedang besar miliknya. Ya hanya satu tebasan besar, dan para Harpy itu seperti diterjang ombak besar, mati! Beberapa yang selamat langsung kabur dan tidak pernah kembali lagi. Pria itu, Jah Farron seorang pemuda umur 20an yang baru saja memulai perjalanannya sebagai pahlawan besar. Untuk Jah Farron!" kata pria mata satu itu lagi mengangkat gelas birnya bersulang dengan yang lain.
Semua bergembira, tidak... tidak semua ada seorang pemuda yang tetap tertunduk menikmati minumannya, ia tidak ikutan bergembira. Sebaliknya ia merenggut muram,
"Betapa sialnya aku masuk bar yang mendewakan Farron," keluhnya, dan kata–kata itulangsung tedengar oleh pria di sebelahnya.
"Ada apa Bung? Tampaknya kamu bukan penggemar Farron?" tanya pria di sebelah pemuda muram itu.
"Kenapa aku harus jadi seorang penggemar seorang penjahat seperti Farron?" balas pemuda muram itu ketus.