V × Another Side of Verrel [2]

32.7K 3.7K 53
                                    

"Gila, kan?"

"A-Apa, sih gue nggak ngerti!" Prilly masih terus berkedip, ekspresi wajahnya seperti orang bodoh yang benar-benar tidak bisa mencerna materi di kelas.

"Gue geli kalau harus ngulang sekali lagi. Yang penting sekarang lo udah tau, kan?"

"T-Tunggu, deh," Prilly merubah posisi duduknya, berharap Verrel mau melihat wajahnya. "K-Kalau emang lo sama Ali itu sodaraan, harusnya... kalian nggak gini-Maksud gue, Lo nggak gitu ke Ali. Lo memperlakukan Ali kayak bukan manusia, apalagi sodaraan."

Verrel tertawa getir. "Sampai kapanpun, di mata gue, Aliandra nggak akan pernah jadi Manusia. Dia itu setan."

"Gue nggak yakin, kalau kalian saudara beneran." Prilly menatap Verrel penuh selidik.

"Dih," Verrel bergidik. "NGGAK!"

"Terus?"

"Dia itu anak selingkuhan bokap gue,"

Terang-terangan Verrel berucap. Seolah tidak ada rem khusus untuk menyeleksi kalimat yang seharusnya tidak di lontarkan ke sembarang orang. Cowok itu blak-blak an soal aib keluarganya. Atau mungkin... ini adalah sisi lain dari Verrel?

Demi apapun, Prilly nggak mengenal dekat Verrel. Bahkan mereka baru saling mengenal kurang dari satu bulan. Itu pun diawali hubungan yang kurang baik. "K-Kok bisa?"

Verrel mengangkat bahu. "Manusiawi, kan kalau gue benci sama Ali?"

Prilly mengangguk samar. Jujur saja, kalau ia ada di posisi Verrel, mungkin saja Prilly bisa melakukan hal yang sama. Membenci orang-orang yang membawa pengaruh buruk untuk keluarganya.

"Dari... kapan?"

"Ketauannya, sih waktu gue masih SD. Gue inget banget, gimana Nyokap kabur gara-gara cewek itu. Karena anaknya laki-laki, Bokap gue mau nerima meskipun beberapa tahun sempet dimasukkin ke Panti-"

"Jadi? Ali itu anak Panti?" Prilly memotong kalimatnya, membuat Verrel memutar bola mata kesal.

"Gue belum selesai ngomong," Verrel berdecak. "Pas cewek itu ngebawa Ali ke rumah, sih, dia masih seumuran sama gue. Sama-sama kelas 5 SD. Langsung bokap gue kirim ke Panti Asuhan di Bandung karena keadaan rumah lagi panas-panasnya. Nyokap sama Bokap gue sering banget berantem,"

Prilly bertopang dagu, menyimak setiap penuturan tulus dari Verrel. Dalam hati, Prilly sempat berpikir, apa ia termasuk orang yang beruntung bisa mendengar curhatan cowok yang di kenal dengan image garang dan biang onar. "Terus, terus?"

"Pas gue mau masuk SMP, Ali balik. Kita satu SMP, dan kayaknya otak Ali udah sengklek semenjak pulang dari Bandung. Dia jadi kayak lekong gitu. Suka karaoke sendiri di kamar, ngedance ala-ala cewek dan Ish! GELI, DEH!" Verrel tak sanggup lagi membicarakannya, dan hal itu membuat Prilly tertawa.

Karena melihat perempuan itu tertawa, Verrel melanjutkan. Entah mengapa, untuk pertama kalinya ia merasakan hatinya sedikit menghangat. Prilly adalah orang pertama yang mendengarkan ceritanya, tawanya hampir secerah matahari sore ini. "Lanjutin nggak?"

"Lanjut, dong. Gue bener-bener tertak sama cerita lo. Kadang, sekuat apapun lo nyimpen sesuatu, pada akhirnya lo juga bakal ngungkapin itu semua. Dan gue cukup seneng ngedenger cerita lo," Prilly tersenyum. "Gue juga ngerti gimana posisi lo."

Verrel menyilangkan kedua tangannya di bawah dada, punggungnya disandarkan ke kursi agar lebih rileks. "Sampai kapanpun, gue nggak akan pernah anggap Aliandra ada. Karena semenjak dia ada, keluarga gue bener-bener hancur. Nyokap yang nggak tau dimana, Bokap yang sibuk dinas keluar kota dan akhirnya, rumah gue yang biasanya rame kayak kandang ayam, sekarang jadi sepi kayak kandang singa."

"Jadi... lo satu rumah dong sama Ali?"

Verrel tergelak. "Anjir, ogah banget!"

"Kok gitu, sih? Berarti rumah lo sepi banget, dong?"

"Dia gue suruh tinggal sendirian. Biar dia ngerasain hidup sendiri kayak apa. Baru beberapa bulan yang lalu dia pindah ke apartemen punya Bokap gue juga. Gue udah eneg sama dia, Jadi, mending gue yang pergi atau dia yang pergi, dan ternyata Bokap nyuruh Ali pergi," Verrel tertawa kecil. "Rasanya seneng banget! Seenggaknya dia nggak lagi ngerusak pemandangan gue."

"Segitu bencinya lo sama Ali?" Tanya Prilly lembut.

"Dia bahkan lebih dari layak buat ngedapetin itu semua."

"Lo yakin nggak akan nyesel?"

"Ngapain harus nyesel? Itu belum seberapa daripada apa yang gue rasain."

"Kalau seandainya satu sekolah tau lo sama Ali itu-"

"Nggak akan ada yang tau kalau lo tutup mulut. Soalnya, cuma lo doang yang tau ini."

Prilly mengatupkan mulutnya. Ya ampun, dia benar-benar di bebani oleh satu aib keluarga. Perempuan itu menarik nafas. Menyandarkan punggungnya pada kursi karena mulai merasakan pegal. "Lo nggak takut kalau seandainya ntar Ali balik mukulin lo gitu?"

Mendengar itu, tawa Verrel pecah. Cowok itu sampai memegangi perutnya sendiri saking gelinya mendengar ucapan Prilly, matanya berair karena terlalu banyak tertawa. "HAHA, Apa tadi? Mukulin gue?"

Prilly mendengus, memukul punggung Verrel keras. "Ih! Serius, gue nggak main-main loh! Segala kemungkinan itu bisa aja terjadi."

"Astaga, kayaknya mustahil banget Ali bisa jadi gentle. Asal lo tau, salah satu alesan gue ngebully Ali juga karena dia itu enak di bully, nggak bakal ngelawan dan lebih milih ngehindarin gue. Yah, sekedar buat jadi bahan pelampiasan mood gue bisa kali, ya?"

Prilly memutar bola mata, lalu berdecak. "Lo emang bener-bener tipe orang yang suka ngeremehin orang lain, ya?"

Verrel hanya mengangkat bahu. "Emang kenyataannya gitu, kok."

Setelah beberapa detik, antara Verrel dan Prilly sibuk dalam pikiran masing-masing. Sampai Verrel mengangkat pergelangan tangannya untuk melihat jam. "Udah sore, nih. Lo mau pulang?"

Prilly mengangguk, menyedot habis isi Bubble Tea yang sudah tidak segar lagi. Verrel berdiri dari kursi, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. "Gue nggak bisa nganterin lo. Tau sendiri, kan?"

Iya. Prilly mengerti. Seharusnya tadi mereka bisa jalan menggunakan mobil. Hanya saja, tanpa bisa dicegah, Ban mobil Verrel mendadak kempes seperti ada seseorang yang iseng melakukannya. Kata Verrel, hal itu sudah biasa. Mengingat, banyak sekali orang yang tidak menyukai keberadaannya di sekolah.

Prilly mengangguk. "Hmm, gue naik Bus aja. Di depan ada halte, kok."

"Kenapa nggak naik taksi bareng gue aja? Gue yang bayarin, lah." Tanya Verrel dengan dahi berkerut.

Prilly menggeleng. "Nggak, ah. Gue lebih suka naik Bus aja. Lo mau nganter sampe halte atau enggak?"

"Ih, padahal naik taksi lebih aman, loh." Verrel meyakinkan Prilly sekali lagi, tapi ia tetap menggeleng. Yah, seandainya Verrel bisa naik Bus juga, kalau bukan karena tidak ada Bus yang melewati daerah tempat tinggalnya. "Ya udah gue anter sampe halte, deh."

Prilly hanya tersenyum tipis, lalu berjalan lebih dulu-beberapa langkah-di depan Verrel.

***

"Bye. Take care, ya!"

Prilly membalas lambaian tangan Verrel dari luar kaca Bus. Di depan halte dekat taman kota, biasanya banyak sekali yang naik Bus hingga Prilly harus buru-buru mencari tempat duduk kalau tidak ingin berdiri sampai bau ketek.

Matanya menyisir pandang kursi penumpang yang rata-rata sudah di tempati sebagian orang. Prilly mengulum senyum saat pandangan matanya berhenti di salah satu kursi kosong di barisan kanan.

Begitu Prilly duduk, perempuan itu memangku tas-nya di paha, dan mulai mengeluarkan ponsel.

Deg.

Entah ini takdir atau kebetulan, yang pasti Prilly tak bisa mengatur degup jantungnya yang terlalu kentara, saat ia menolehkan kepala ke samping.

Dia disini.

- 14 Januari 2016

My Beautifull BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang