IV × Another Side of Verrel

32.9K 3.8K 37
                                    

[edited]

Jam menunjukkan pukul tiga siang, dan ini adalah jam pelajaran terakhir. Sekitar lima belas menit lagi Bell pulang berbunyi dan kelas pun bubar. Mrs. Anna, wanita dengan rambut cokelat gelap dan kacamata yang bertengger di pangkal hidungnya sejak tadi tak berhenti mengoceh tentang materi Bahasa Inggris yang akan keluar untuk Ujian Tengah Semester nanti. Prilly benar-benar bosan.

"Okay, the lesson we're done here. See you tomorrow!"

Jackpot!

Tidak ada yang mengira kalau pelajaran berakhir sebelum Bell berbunyi. Secara serentak semua murid menutup bukunya dan membereskan alat tulis yang berantakan di meja masing-masing. Verrel menyikut lengan Prilly, hingga perempuan itu menolehkan kepalanya. "Jalan, yuk?"

Prilly menghela nafas samar, ia sendiri bahkan lupa kalau di jam istirahat tadi, Verrel terang-terengan mendeklarasikan Prilly sebagai pacar barunya. Padahal Prilly sendiri merasa sedang memikul beban berat dengan status tersebut.

"Oke," Prilly mengangguk.

"Senyum, dong. Lo kaya nggak iklas gitu kesannya."

Prilly berusaha menarik kedua sudut bibirnya selebar mungkin. "Iya, Iya, ini senyum..."

Dengan gemas, Verrel mencubit pipi Prilly. "Nah, gitu, kan lucu."

Diam-diam Prilly menarik nafas dan memutar kedua bola matanya. Demi apapun, Prilly benar-benar risih.

Lalu, Tanpa sengaja, pandangannya tertuju pada bangku yang berada di sudut kelas, dan tatapannya saat itu juga langsung meredup.

Kosong.

Dari pelajaran pertama, hingga bell pulang berbunyi, bangku itu memang kosong tiap kali Prilly menolehkan kepalanya.

Aliandra absen hari ini. Tanpa keterangan. Membuat Prilly khawatir kalau cowok itu sakit akibat kejadian kemarin. Terakhir yang Prilly lihat, sore itu Ali benar-benar kacau dan babak belur.

Prilly berharap, cowok itu baik-baik saja.

***

Saat Verrel menawarinya makan di salah satu Restoran cepat saji milik Keluarganya, Prilly menolak. Perempuan itu ternyata benar-benar tipe cewek sederhana dan tidak suka hal-hal yang terlalu berlebihan.

Pada akhirnya, Mereka berdua memilih berjalan-jalan di sekitar taman kota dengan dua buah Bubble Tea. "Lo beda sama mantan-mantan gue,"

Prilly menoleh, dahinya berkerut. "Apa? Mantan-mantan? Kok kesannya kalau mantan lo itu lebih dari satu?"

"Itu fakta," Verrel menjentikkan jarinya. "Tapi, gue yakin... lo nggak bakal masuk ke daftar koleksi mantan gue."

Prilly tertawa kecil. "Masa?"

"Hmm," Verrel mengangguk mantap, memasukkan sebelah tangannya ke saku celana.

Prilly mengangkat cup Bubble Tea-nya ke udara, menerawang es batu dan Bubble yang tenggelam. "Rel?"

"Ya?"

"Boleh nanya sesuatu nggak?"

"Tanya aja,"

Prilly diam sejenak, menarik tangan Verrel untuk duduk di sebuah kursi sisi Taman yang kebetulan kosong. Rasanya, bicara sambil berjalan nggak nyaman untuk Prilly. "Duduk dulu,"

"Kenapa, sih?" Tanya Verrel, setelah ia menjatuhkan bokongnya di kursi besi yang agak menguning karena karatan.

"Gue mau nanya," Prilly menyandarkan punggungnya ke kursi, matanya menatap sekumpulan orang yang berjalan melintasi mereka. "Um, Alasan lo... ngebully Ali, apa?"

"Ya ampun, masih di bahas juga..." Verrel sempat memutar bola mata.

"Ih, lo gimana, sih. Katanya kita pacaran, harus saling jujur dong.."

Verrel mendengus, mengacak rambut Prilly pelan. "Alesannya simpel, kok."

Prilly menaikkan kedua alisnya, seolah bertanya dengan isyarat; apa?

"Gue nggak suka segala sesuatu dari Aliandra."

"Itu doang?"

"Iya, Intinya, sih itu. Menurut gue, dia itu mahkluk paling menjijikan."

Prilly melotot, memukul keras lengan Verrel. "Mulut lo, tuh ya!"

Verrel meringis, lalu kemudian mengangkat kedua bahu. "Itu Fakta, kok! Gue emang benci banget sama Aliandra."

"Tapi, kan... benci itu pasti ada alesannya, Rel."

Verrel menatap Prilly lama. "Lo tau nggak, sih? Lo itu orang pertama yang nanya ginian soal Ali. Baru nyadar, anak sialan itu ternyata ada yang peduliin."

Prilly menghela nafas. Mungkin Verrel ini tipikal orang yang keras dan tidak terbuka. Sikap kasarnya selalu terselip dari gestur hingga intonasi bicaranya. Iya, Verrel emang cowok kasar. "Ya udah, sih kalau lo nggak mau kasih tau. Mungkin lo emang punya alesan tersendiri yang nggak pengen semua orang tau. Oke, gue ngerti."

Verrel memutar bola mata lelah, menandaskan Bubble Tea-nya hingga tak tersisa lalu melempar Cup plastik bekasnya ke tempat sampah yang berjarak sekitar dua meter di depan.

Satu lemparan mulus.

Dan, tepat sasaran. Pas seperti saat Verrel memasukkan bola basket ke dalam ring.

"Lo seriusan mau tau?"

Prilly hanya mengangguk, dan Verrel membalasnya dengan tawa remeh. "Percaya atau enggak, ini hal paling gila yang pernah gue omongin. Dan lo itu orang satu-satunya yang gue kasih tau tentang ini."

Prilly mengacungkan jari kelingkingnya di depan wajah Verrel. "Janji, deh!"

Verrel tertawa kecil, menepis tangan Prilly agar menyingkir dari wajahnya. Ia diam sebentar, menarik nafas dan menahannya beberapa detik. Sementara Prilly terus menatapnya dari sisi kanan, Verrel justru mengalihkan pandangannya ke jalanan yang banyak di lalui oleh orang-orang.

"Ali itu saudara gue," Dalam satu tarikan nafas, Verrel menuturkan.

Prilly mengerjapkan matanya. Beberapa kali sampai ia benar-benar yakin kalau yang tadi itu suara Verrel. "Hh?"

— 14 Januari 2016

My Beautifull BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang