Second

76 5 0
                                    

-

"Bu, perut saya sakit, kayaknya maag saya kambuh. Boleh saya izin ke UKS, Bu?" Yaka mengangkat tangannya sembari beranjak dari tempatnya duduk.

"Maag? Kamu punya maag? Mau ditemani ke UKS-nya?" tanya Bu Ega khawatir.

"Gak usah, Bu... biar saya sendiri, aja..." Yaka segera berjalan keluar dari kelas. Ketika melewati Dion, Yaka merasakan tatapannya yang terus mengikuti tubuhnya pergi.

Ketika Yaka melewati hadapan Dion, ia merasakan debaran yang begitu kuat, membuatnya tak bisa bergerak ketika Yaka melewati hadapannya.

Yaka, kamu masih inget aku, ... kan?

"Dion, silahkan duduk..." Bu Ega segera meminta Dion untuk duduk setelah Yaka pergi.

Dion menanggapinya dengan anggukan. Ia berjalan perlahan menuju bangku di belakang bangku Yaka. Ketika melewati bangku Yaka, penciumannya benar-benar peka. Tercium aroma khas Yaka yang membuatnya berhenti sejenak di samping bangku itu.

"Bangku lo yang itu, tuh! Yang itu bangkunya Si Kacamata..." seorang murid laki-laki berambut cokelat ikal dengan tangan menopang dagunya, menunjuk bangku di depannya.

Dion sedikit terkejut mendengar ucapannya. Namun, ia hanya mengangguk kemudian segera menduduki bangkunya.

Setelah duduk, Dion merasakan seseorang menepuk bahunya. Ia segera berbalik.

"Hoi! Nama gue Fay..." Fay menyodorkan tangannya.

-

-

-

"Hhhh..." Yaka menghela nafas. Selama menuju ke UKS, debaran jantungnya tak kunjung mereda.

Ketika melewati sebuah cermin panjang di dekat jajaran loker, Yaka berhenti sejenak. Kemudian ia berbalik menghadap cermin. Ia menatap tampilannya sekarang, berkacamata dan rambut yang diikat kuda plus poni depan.

"Dia inget aku, gak, ya?" Yaka bergumam tanpa disadari.

"Ah!" Yaka terkejut mendengar ucapannya, kemudian mencubit pipinya keras.

Sesampainya di UKS, ia segera mengetuk pintu kemudian masuk ke dalam ruangan ber-AC itu. Tampaknya ruangan UKS yang sunyi dan sepi. Yaka tak melihat Bu Yanti, yang bertugas sebagai suster sekolah.

Yaka mengangkat bahunya tak peduli. Kemudian ia segera menuju sebuah ranjang di pojokan. Ditutupnya tirai pembatas, lalu segera direbahkannya tubuhnya di atas ranjang.

"Ngapain, sih, dia?" Yaka kembali bergumam.

Yaka mengeluarkan MP3 dan headsetnya, kemudian segera menyalakan lagu favoritnya. Suara Shawn Mendes, dengan lagunya 'Stitches', terus menggema di pendengaran Yaka.

"Gue baru tau, cewek kayak lo bisa bolos juga..." tiba-tiba tirai yang berdekatan dengan ranjang sebelah terbuka.

Yaka segera melepas headsetnya, kemudian menoleh ke ranjang sebelah. Tentu saja ia tidak terkejut, karena ia sangat mengenal suara itu.

"Apaan, sih, Dit?" Yaka mendengus kesal. Ditya, satu-satunya orang terdekat yang ia punya di sekolah. Nakal sekaligus idola. Idola sekolah maksudnya. Pintar basket sekaligus tampan.

"Lo bener-bener bolos, Ka?" Ditya duduk di tepi ranjangnya, menatap serius cewek dihadapannya.

"Aneh, apa? Kayak lo gak pernah bolos aja..." Yaka kembali memasang headsetnya.

"Jutek amat. Biasanya lo gak gini, deh. Masalah di kelas?" tanya Ditya lagi.

"Aakh. Lo kepo banget," Yaka mendengus kesal.

"Gue gak sempet masuk kelas tadi, ada murid baru, ya? Denger-denger cowok," gumam Ditya, terus memancing informasi dari Yaka.

Yaka melipat kakinya, merasa risih dengan ucapan Ditya. Sementara Ditya seperti mengetahui masalah Yaka , ia tersenyum kemudian berdiri. "Gue ke kelas, ya... penasaran... jangan minta gue nemenin lo di sini, ya," Ditya tersenyum jail kemudian segera meninggalkan UKS.

"Siapa juga yang mau ditemenin..." Yaka berdecak kesal, kemudian kembali berkonsentrasi pada lagu, berusaha menenangkan dirinya.

-

-

-

Di kelas, pelajaran B.Inggris terus berjalan. Tiba-tiba pintu terbuka dan muncullah Ditya. Dion yang hampir tertidur, tersentak kaget mendengar suara pintu yang terbuka dengan keras.

"Bu Ega, sorry, telat, Bu! Tadi, habis anter adik pulang. Sakit perut dianya." Ditya menggaruk tengkuknya, berusaha berakting sebaik mungkin.

"Sakit perut lagi? Ya, sudah. Duduk." Bu Ega kembali menulis di papan tulis.

Ditya segera berjalan menuju bangkunya di pojok kiri paling belakang. Begitu matanya menangkap Dion, ia tiba-tiba berseru.

"Oh! Lo, ya! Murid baru itu, kan?!" seru Ditya, membuat wajah seimut mungkin. Beberapa cewek meringis gemas melihatnya.

"Itu?" Dion mengangkat sebelah alisnya.

"Temen gue cerita ke gue soal lo. Namanya Yaka." Ditya memancing Dion.

"Yaka? Lo deket sama Yaka, ya?" nada bicara Dion terdengar lesu.

"Dia temen baiknya Yaka... yah, bisa dibilang temen satu-satunya Yaka..." Fay menjelaskan.

"Bener banget! Gue emang deket banget sama dia," Ditya tersenyum kemudian menepuk bahu Dion. Setelah itu ia kembali berjalan menuju bangkunya.

Setelah Ditya pergi, Dion kembali menatap papan tulis. Namun, ia tidak bisa focus. Punya hubungan apa Ditya dengan Yaka? Kenapa mereka bisa dekat? Apakah Yaka suka padanya?

Pertanyaan-pertanyaan seputar Yaka terus mengitari kepalanya. Ia bertambah risih. Semakin besar kemungkinan Yaka lupa padanya.

Tapi, Yaka bercerita soalnya pada Ditya. Bukankah itu artinya Yaka masih mengingatnya? Tapi, bagaimana kalau ternyata Yaka bercerita tentang kejelekan-kejelekannya?

Dion di sini untuk menunjukkan keberhasilannya. Untuk menemui Yaka. Untuk kembali bersatu dengan perempuan satu-satunya.

Yaka, aku di sini karena aku bertahan. Apakah kamu tetap menungguku?

-






LIKE AND FOLLOW YA... ;D



PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang