Prolog

102 5 0
                                    

Sudah 5 tahun semenjak Dion pergi meninggalkanku. Tak terasa, kini aku sudah menduduki kelas 3 SMP.

Sebenarnya, merelakan Dion pergi itu sangatlah susah. Berbulan-bulan tangisanku tidak henti karenanya. Begitu melihat jari manisku, tangisku kembali pecah. Mataku bengkak. Aku kebanyakan bolos sekolah hingga rangkingku anjlok.

Dan, yang paling parah.

Aku hampir berpikir untuk bunuh diri.

Saat itu, menurut kabar yang didengar orangtuaku. Bus yang ditumpangi Dion sekeluarga, mengalami kecelakaan hebat. Kudengar banyak yang meninggal. Penumpang-penumpang banyak yang tak terselamatkan.

Ayah dan ibu yakin, bahwa Dion sekeluarga tidak selamat. Karena menurut informasi, penumpang yang selamat hanya 2 orang. Persentase kemungkinan Dion selamat sanngaat kecil, mungkin cuma 1,9999%.

Tapi, aku tetap yakin, bahwa Dion selamat dari kecelakaan nahas tersebut. Sangat lama aku menunggu kepastian tersebut, namun, tak ada kabar apa pun dari Dion, entah itu SMS atau pun surat.

Aku menjadi sangat frustasi. Hingga akhirnya, aku menyerah. Aku berpikir, tiada artinya masa depan tanpa nama Dion di dalamnya. Akhirnya terlintaslah ide bunuh diri tersebut.

Malam itu, ketika ayah dan ibu sudah tidur. Diam-diam aku mengambil pisau di dapur. Kukira inilah cara terbaik untuk mengakhirinya. Tak akan sakit, karena begitu melihat darah, aku akan pingsan, kemudian tanpa kusadari rohku akan terlepas dari tubuhku. Mudah, kan?

Aku menyalakan TV dengan volume keras, untuk meredam suaraku kalau-kalau aku menjerit begitu pisau mengiris urat nadiku.

Namun, keajaiban terjadi.

Ketika pisau sudah berjarak kurang dari 1 cm dari tanganku, tiba-tiba, TV yang kunyalakan tadi menyerukan namanya.

Ya! Namanya!

"DIKA JAYASRIII!!!! SELAMAT!!! ANANDA DION MEMENANGKAN INDONESIAN IDOL TAHUN 2017!!! MARI KITA DENGARKAN SEPATAH KATA DARI DION YANG AKAN SEGERA MENGGETARKAN NEGERI KITA DENGAN BAKATNYA YANG SUPER CETAR MEMBAHANA!!! SILAHKAN DION..."

"Dika... Jayasri?"

"Ekhm... baik... suatu kehormatan dan kebanggaan bagi saya berdiri di hadapan kalian semua (tepuk tangan membahana)... terima kasih kepada juri-juri yang sudah memilih saya... juga dukungan dari ayah saya, dan semoga almarhumah ibu saya juga mendoakan saya dari atas sana..."

"... dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pendukung saya yang telah menyemangati saya selama audisi ini berlangsung (studio mulai riuh)... ekhm... tidak banyak yang dapat saya katakan... dan terima kasih untuk seseorang yang telah memotivasi saya, bahwa ia mungkin tidak menyadarinya terima kasih..." (tepuk tangan kembali membahana).

Dika. Tapi, entah kenapa, hatiku tidak memedulikannya. Aku dan hatiku tau, lelaki yang saat itu tengah berdiri di atas podium megah, adalah Dion. Satu-satunya Dionku.

Aku tau itu.

Saat, itulah Dion menyelamatkanku. Namun, suatu insiden kembali datang. Seakan takdir tak ingin membahagiakanku terlalu lama, suatu kejadian mengerikan menimpaku.

Tiba-tiba kepalaku pening, disusul oleh perutku yang seakan ingin mengeluarkan isinya, hingga tiba-tiba darah segar mengalir keluar dari salah satu lubang hidungku. Begitu mengetahuinya, tanpa sadar aku menjerit kemudian meraung, hingga akhirnya jatuh tak sadarkan diri.

Dan begitu bagun.

Bukan kabar baik yang datang. Melainkan tangisan ibu yang menyambutku. Lalu begitu kulihat sekeliling, aku sudah berada di rumah sakit, selang infuse menggelung tanganku, alat bantu pernafasan melingkar di kepalaku.

"Bu, aku cuma mimisan... ibu lebay, deh..."

Cuma itu yang kukatakan, kupikir ibu akan sedikit tertawa. Tapi yang kudapat, malah tangisan ibu yang semakin menderu. Ayah bahkan hampir ikut menangis.

Hingga akhirnya aku tau semuanya.

Alasan mengapa ibu dan ayah menangis, mengapa infuse merambati tanganku, mengapa aku harus diberikan alat bantu pernafasan, dan fakta bahwa mimisan dapat berarti banyak hal.

"Leukemia Myeloid Akut... leukemia yang menyerang sel myeloid yang berasal dari sumsum tulang..."

Dan akhirnya, terumumkanlah jadwal kematianku. Aku divonis tidak bisa hidup lebih lama lagi, apabila operasi tidak berarti banyak.

Berita selamat dan kemenanyan Dion yang tadinya menggembirakan, berubah menjadi menyakitkan.

Kenapa?

Karena itu artinya, Dion berhasil mewujudkan janjinya. Dan akhirnya, giliranku untuk membuktikan perkataanku dulu...

Menjadi istri bagi Dion.

Seharusnya aku senang, seharusnya senyum tersungging di bibirku sekarang. Seharusnya hatiku menggebu-gebu.

Tapi, yang kurasakan malah, keperihan yang melanda hatiku.

Apabila, aku harus tetap menjadi istri Dion, kemudian aku meninggal kalah melawan penyakit sialan ini, aku tidak bisa melihat wajah sedihnya.

Aku tidak bisa.

Aku tidak bisa lagi melihatnya mengeluarkan air mata.

Aku tidak ingin membuatnya patah hati.

*

*

Dan akhirnya, aku memutuskan melupakan janji itu.

Melupakan semua tentangnya.

Melupakan kenangan manis yang kulewati bersamanya.

Dan aku pun menutup hatiku rapat-rapat.



vote and follow ya... ;D

thanks



PromiseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang