Kupikir rasa itu sudah sirna, tapi aku salah.
Kia
Kemacetan koridor.
Ini nyebelin banget. Penasaran deh, gue, apa penyebab kemacetan ini.
Dan, ternyata penyebabnya adalah Naya.
Tuh kan, kumat lagi itu si Naya.
Naya, manusia paling alay yang pernah ada di dunia ini. Sahabat paling dramatis yang pernah kumiliki.
Kalau sudah masalah cowok, entahlah, apapun dapat dianggap sebagai kode buatnya.
Kalau sudah menyangkut cowok, dia gampang baper, dia sensitif kalau masalah cowok. Apapun yang dilakukan si cowok bisa membuatnya salting tingkat dewa.
Nah, lihat, sekarang saja dia berhenti di tengah koridor, tanpa sadar, seharusnya dia minggir, biar yang lain bisa lewat.
"Woy, Nay!"
Gak ada reaksi, seperti biasa.
Aku bukanlah orang yang sabar. Jadi, kutarik lengan Naya, membuyarkan imajinasi liarnya itu.
"Naraya!"
Dan sahabatku ini tidak langsung menjawab. Diam selama tiga detik, baru kemudian menjawabku, "Kia!"
Ya Tuhan, sahabatku yang satu ini... "Lo sadar ga, sih, yang di belakang pada nungguin lo minggir,"
Aku tunggu reaksi Naya. Tapi, dia malah senyum-senyum sendiri. Pertanyaanku diabaikan, dianggap angin yang berlalu...
"Nay!" seruku, "Kayaknya, ini ada hubungannya sama cowok nih..."
Naya diam saja. Gue siap berkata, "Tuh kan, gue bener! Lo pasti-"
"Kia!" serunya dramatis, aku sampai kaget, "Temen sekelas lo cogan!"-.-.-.-.-.-.-.-.-.-
Dino
Aku berjalan menyusuri koridor.
Hari ini pelajaran olahraga. Pelajaran favoritku. Gue mah jago kalau masalah olahraga, apalagi basket, tapi untuk mate dan kawan-kawan? Jangan tanya lagi, nilaiku selalu tidak lebih dari angka 5 untuk mat, dan tepat di angka 7 untuk IPA. Gue emang enggak terlalu pandai untuk beberapa mata pelajaran, tapi gue termasuk MOST WANTED di sekolah.
Meskipun gue anak yang katanya MOST WANTED, tapi gue gak playbloy lah.
Gue Dino. Cuma sayang satu anak, pasti dan selamanya.
Deg.
Karin.
Gue pikir rasa itu udah sirna, tapi gue salah.
Kenapa lo mesti hadir di setiap gue mikirin lo, Rin? Lo jahat karena bikin gue sayang, di saat lo gak bisa bales rasa gue. Lo jahat Rin.
"Ehm"
Karin lagi-lagi nyuekin. Apa sih salahku padamu oh Karinku... Eh apaan sih, alay gue.
Gedubrak. Karin jatuh.
Pengen sih, gue tolongin. Tapi, gue harus tetapkan satu hal. Gue benci lo. Gue benci lo, Rin. Haha rasain dasar bego.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-.-
Karin
"Ehm"
Aku tau dia bermaksud menyapaku.
Tapi, aku rasa, buat apa bales sapaan mantan?
Kalau harus jujur, aku masih marah sejak saat itu. Harusnya dia tidak cuek saat itu, harusnya aku tertawa bersamanya saat ini."Dino, aku rasa kita harus putus Din. Aku gak bisa terus terusan kamu cuekin Din. Aku... Aku gak bisa, Din."
"Rin, tunggu Rin, kamu ngomong apa sih, Sayang?"
"Dino, aku udah bilang mau putus, jangan ganggu gue lagi Din."
"Tapi apa salah aku, Rin?" Karin beranjak untuk pergi, "Rin, Rin, enggak bisa dong mutusin sepihak gitu aja, aku sayang kamu, Rin. Cuma kamu, Rin, apa salah aku, sih, sampe kamu mau putus? Apa salah aku, Rin?"
"Lo tau kan akhir akhir ini kita jarang ketemu, lo selalu sibuk sama basket lo itu Din, mana prioritasmu?
Mungkin aku prioritasmu, tapi yang keberapa, entah... Intinya gue mau putus."
Dino diam. Entahlah itu berarti ia merelakan, atau menahan keinginan untuk bertahan.Bodo ah! Bodo, ngapain coba gue mikirin gituan, buang buang energi.
Tapi, gue masih kepikiran soal Dino, yang gue tau dia itu baik, tapi kenapa waktu itu lo cuek sih Din, tau ah.
Dia pasti nyesel udah cuek sama gue. Dino masih care sama gue. Gue yakin.
Gue bakalan sengaja buat jatuh.
"Gedubrak" dia noleh, yes!
Bantu gue Dino! Ke siniii, lo masih care, kan? Bantu gue!
"Aduh sakit" Dino masih menoleh, tapi setelah itu ia pergi begitu saja
Dasar sialan lo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Square
Teen FictionSaat dimana kau harus memilih. Seisi dunia seakan mengkhianatimu.