Pagi menjelang begitu cepat. Cahaya surya menyusup lewat celah gorden yang masih tertutup. Pun dengan suara ponsel yang sudah berbunyi untuk kelima kalinya. Dan masih sama. Si empu kamar masih enggan untuk bangun dari mimpinya. Ia malah semakin merapatkan tubuhnya dengan selimut tebal berwarna hitam.
"Astaga, Adit!" Seorang wanita membuka pintu kamar sang empu lebar-lebar. Ia juga mendekati ranjang dan menyibak selimut yang membungkus pemilik kamar.
"Adit!" Sekali lagi ia menyebut nama pemilik kamar. "Kalau sekali lagi ponselnya bunyi dan kamu belum bangun, Mama siram kamu pake air!"
Baru saja sang ibu berhenti bicara, ponsel Aditya kembali berbunyi dan kemudian berhenti lagi.
"ADIT!"
Dan di saat itu pula, pria muda bersahaja yang meringkuk segera terbangun dan mengelus dadanya pelan. "Mama itu kalau bangunin jangan teriak-teriak, dong. Adit kaget ini," keluh pria itu sambil memanyunkan bibirnya.
Wanita berusia empat puluhan akhir yang berdiri di samping ranjang segera menarik selimut sang anak cepat. Tak lupa ia menarik telinganya keras.
"Protes mulu kalau Mamanya teriak-teriak tapi kamunya sendiri dibangunin pake cara halus aja nggak bisa," jawab wanita bernama Erna itu panjang lebar, ciri khas ibu-ibu rempong.
Tak ingin membuang waktunya percuma, Aditya pun segera menurunkan kedua kakinya ke lantai. Ia bergeming sebentar, berusaha mengumpulkan energi untuk aktivitasnya di hari ini. Bicara aktivitas... sepertinya sang ibu sempat mengungkitnya tadi. Aditya pun bergegas mengecek ponselnya, wajahnya berubah pias kala menyadari beberapa panggilan tak terjawab bertengger di sana. Pria itu lupa kalau punya janji dengan pasien. Kiamat sudah!
"Mama kok nggak bangunin Adit dari pagi sih? Mampus ini! Adit telat, Ma!" Pria itu langsung melesat ke kamar mandi untuk bersiap. Sedang sang ibu hanya bisa mengembuskan napas panjang.
"Ending-nya juga protes lagi, to?" Ia bermonolog sebentar, lalu segera meninggalkan kamar sang anak untuk mempersiapkan sarapan.
***
"Selamat pagi, Mbak Ila," Aditya menyalami pasiennya setelah telat hampir satu jam. "Maaf terlambat, Mbak. Ini benar-benar kelalaian saya," ujarnya meminta maaf.
Pasien bernama Ila tersenyum. "Nggak apa-apa, Dok. Pasien Dokter kan nggak hanya saya saja. Kebetulan juga saya minta check up di hari libur yang seharusnya jadi waktu istirahat untuk Anda," jawabnya halus.
Aditya terkekeh yang kemudian meminta sang pasien untuk duduk di dental unit. Sembari menyiapkan alat pemeriksaan, ia tak berhenti menanyakan keluhan pasien.
"Memang kemarin makan apa kok jadi longgar begini bracket-nya?" tanyanya, menindaklanjuti keluhan sang pasien dari hari-hari lalu.
Perempuan berusia tiga puluhan itu cengengesan. "Kemarin kantor habis syukuran, Dok. Tender kami lolos untuk satu tahun ke depan. Terus makan-makan deh. Seafood gitu," jelas Ila panjang lebar.
Aditya mengangguk dan mulai konsentrasi mengencangkan bracket sang pasien sekaligus melakukan perawatan berkala. "Kalau yang lain makan seafood, Mbak Ila makan bubur aja," candanya pendek.
"Ya nggak keren dong, Dok. Jauh-jauh ke restoran mahal malah minta bubur," protes sang pasien menahan geli.
"Hahaha. Ya sudah, ini sudah saya kencangkan kembali. Sepertinya beberapa bulan ke depan bracket-nya sudah bisa diganti ke retainers.*" Aditya memberitahu.
Empat puluh menit kemudian, Aditya melepaskan sarung tangannya dan segera bercuci. Tak lupa ia juga membersihkan peralatan agar bisa disterilkan kembali. Sedang Ila—sang pasien, sudah berpindah duduk di depan meja dokter. Menunggu Aditya selesai bersih-bersih.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANDHARA
General FictionAndhara, wanita berusia dua puluh tujuh tahun. Seorang yatim piatu sejak usianya menginjak tujuh belas tahun di hari jadinya. Dia merangkak dewasa dengan memulai menjadi seorang pengusaha kecil-kecilan bermodal warisan yang ditinggal oleh orang tuan...