Bab 16

3.2K 220 3
                                    

A/N : Assalamu'alaikum, Pembaca.

Bab 16 akhirnya netas. Sekadar informasi kalau beberapa bab lagi Andhara akan tamat. Tapi jangan kecewa, saya sudah mempersiapkan cerita baru dengan genre berbeda.

Semoga cerita ini nggak mengecewakan bagi kalian. Banyak tidaknya pembaca itu tidak penting bagi saya. Yang terpenting apa yang ada dipikiran saya bisa tersampaikan dengan sempurna.

Terima kasih sudah setia bersama Andhara.

***

Aditya mematikan lampu meja setelah berkutat pada pasien selama empat puluh menit. Ia meregangkan ototnya sejenak, lalu memasukkan barang-barang yang baru dipakai ke dalam wastafel. Mencuci kedua tangannya, lalu segera membuka masker. Senyum yang pertama kali ia tampilkan.

"Bolongnya sudah parah itu, Pak. Kalau sampai ke akar bisa bahaya. Saran saya itu segera dicabut," ujarnya membuka percakapan.

"Apa nggak ada saran lain, Dok?" tanya sang pasien berusaha kalem.

"Untuk solusi terbaik, saya hanya menyarankan itu. Kerusakan gigi bisa menjadi penyebab timbulnya penyakit kronis, Pak. Jadi, pertimbangkan lagi baik-baik. Untuk sementara ini, bisa ditambal. Tapi itu tidak permanen. Rasa sakit bisa muncul kapan saja dan tentunya dalam situasi apa pun," jelas Aditya panjang lebar.

"Ah ... begitu ya, Dok. Baiklah, saya akan mempertimbangkannya baik-baik. Terima kasih ya, Dok!" Pasien itu berdiri, mengulurkan tangan pada Aditya.

"Sama-sama, Bapak." Aditya segera membalas uluran tangan pasien tersebut. "Hati-hati di jalan, Pak!"

"Iya, Dok!"

Sepeninggal pasien tersebut, Aditya kembali ke wastafel. Mencuci peralatannya juga mensterilkan kembali. Pria itu terlihat lihai dan enjoy dengan pekerjaannya. Tak membutuhkan waktu lama, Aditya sudah selesai membersihkan semuanya. Saat hendak duduk kembali, perawatnya mendekat.

"Dokter...."

"Iya, Sus?"

"Ehm ... ada tamu?"

"Tamu?" tanya Aditya bingung. "Pasien maksud kamu?"

"Saya, Mas Adit."

Aditya melongo menatap sosok Artur yang berdiri di dekat pintu. Pemuda itu terlihat acak-acakan, juga lebih kurus.

"Suster bisa istirahat dulu," ujar Aditya pada sang perawat.

"Baik, Dok!"

Artur mengucapkan terima kasih pada sang perawat, lalu beralih kembali pada Aditya. Untuk beberapa hal, ia cukup gugup bertemu pria yang telah menjadi pujaan hati sang atasan. Tapi Artur tahu, ia harus menentukan sikap secepatnya.

"Duduklah, Tur...."

Artur mengangguk, lalu segera duduk di depan Aditya. Seperti yang diperkirakan, Aditya adalah seorang yang cukup tegas dibalik sikap cengengesannya saat di depan Andhara. Ia juga cukup kompeten menyelesaikan masalah yang ada, dan Artur sangat kagum dengan itu semua.

"Maaf karena baru muncul, Mas." Artur masih menunduk.

Aditya menggaruk tengkuknya yang tiba-tiba terasa gatal, lalu menautkan kedua tangannya di atas meja. "Entah aku harus bilang apa, tapi Andhara benar-benar ingin bertemu denganmu. Penjelasanmu adalah yang terpenting baginya."

"Saya ... saya sepertinya nggak berani untuk bertemu Mbak Ara," aku Artur jujur.

"Kenapa?"

Artur mengangkat wajahnya, menatap Aditya dengan tatapan nanar. "Ada beberapa hal yang benar-benar mengecewakan untuk diri saya sendiri."

ANDHARATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang