Acara pemberkatan dan resepsi pernikahan telah usai. Baik Andhara maupun Aditya bisa meluruskan kakinya di ruangan khusus untuk mereka. Keduanya sama-sama canggung, bahkan untuk bertatapan pun malu. Andhara, dengan gaun sederhana tanpa renda mewah terlihat sangat cantik dan anggun. Sedang Aditya, dengan setelah jas hitam begitu memukau. Sepasang pengantin baru itu memang kesempurnaan yang tidak tercela jika bersatu.
"Ini sepa—kalian ngapain duduk jauh-jauhan begitu?" Kiki bertanya saat hendak memberikan flat shoes pada Andhara.
"O-eh ... nggak, ini kita deketan kok, Tante." Aditya segera bergeser dan menautkan tangan mereka kembali.
Kiki terkekeh, bermaksud mengejek. Bahkan sebelum menikah saja tanpa malu mengumbar kemesraan. Giliran sudah resmi, mereka seperti pasangan yang baru berkenalan sebelum menikah.
"Kalian ini lucu kok. Sebelum resmi saja, lengketnya kayak perangko sama amplop. Giliran resmi malah malu-malu kucing," cibir Kiki sambil membantu Andhara memakaikan flat shoes.
"Tante...." Andhara merajuk pelan.
"Baiklah, Tante keluar dulu, ya? Kalian istirahat saja. Makan juga, kalian kan belum makan sama sekali sejak tadi," jawab Kiki mengalah.
"Iya, Tante. Jangan khawatirkan kami," ujar Aditya dengan senyum hangat yang mengembang.
Sepeninggal Kiki, ruangan menjadi sunyi kembali. Baik Andhara ataupun Aditya masih bingung harus berkata apa. Seolah lidah mereka disfungsi mendadak. Padahal sejatinya, banyak yang ingin mereka ungkapkan setelah beberapa hari tidak berjumpa.
"Kamu cantik, Ra." Setelah menit berlalu, Aditya berani membuka mulutnya.
Andhara tersenyum malu, lalu menunduk. "Bukankah tiap hari aku juga cantik?" goda wanita itu iseng.
Aditya tertawa, setengah mengejek. Lalu ia mengangguk, memilih mengecup pelan bibir tipis milik Andhara. "Kamu tetap selalu cantik di mataku, dalam situasi apa pun."
Andhara ikut tertawa, lalu memukul pelan lengan Aditya. "Gombalmu, ya? Tetap menyebalkan!"
Pria itu tersenyum, lalu memilih merekatkan kembali tautan tangan mereka. Menggenggamnya penuh suka cita dan debaran yang menggebu. Cincin yang melingkar di jari manis kiri Aditya menunjukkan bahwa pria ini sudah resmi menyandang status sebagai suami. Pun dengan jari manis Andhara. Keduanya tidak bisa menyembunyikan raut bahagia mereka, terlebih Aditya.
"Andhara...." Aditya kali ini serius, membuat sang istri menoleh untuk menatapnya.
"Hmmm?"
Aditya semakin mengeratkan tautan tangannya. "Aku bersyukur karena pada akhirnya dipertemukan oleh seseorang sepertimu. Seseorang yang banyak mengajarkanku arti kehidupan. Seseorang yang juga mengajarkanku arti keikhlasan. Terima kasih, Andhara, karena telah memilihku sebagai suamimu."
Mata cantik itu memanas, bahkan hanya satu kedipan semua pertahanan itu tumpah beriringan dengan senyum indahnya. "Aku juga sangat berterima kasih pada Tuhan karena telah mengirimkan seseorang sepertimu. Seseorang yang selalu menawarkan masa depan tanpa mempermasalahkan masa lalu. Seseorang yang selalu menggenggamku dan mengajariku untuk terus bersabar. Terima kasih karena telah mencintaiku sebanyak itu, Dit. A-aku ... aku benar-benar mencintaimu."
Aditya merangkul sang istri, mengecup bahu Andhara berkali-kali dan juga menghirup aroma sang wanita di sana lama. Wanita ini sudah menjadi wanitanya. Satu-satunya wanita yang akan selalu dicintainya.
***
Sama halnya setelah pernikahan tadi, di kamar mereka keduanya juga terlihat sangat canggung. Bahkan parahnya, mereka memilih untuk berjauhan. Andhara memilih untuk duduk di tempat tidur, sedang Aditya berdiri dan memainkan kakinya di dekat balkon. Mereka memilih untuk bermalam di rumah Andhara dulu sebelum tinggal untuk sementara di rumah Aditya, menunggu pembangunan rumah pribadi mereka selesai.
"E-ehm ... sebaiknya aku membersihkan diri di kamar tante saja, Dit." Andhara membuka suara.
"O-oh ... itu ide yang bagus, jadi aku bisa membersihkan diri setelah ini," jawab Aditya geragapan.
Buru-buru Andhara membuka lemari pakaiannya, mengambil sepasang piyama dan juga peralatan mandinya lalu bergegas keluar dari kamar. Sedang Aditya hanya bisa mengembuskan napas panjang sepeninggal Andhara.
"Sungguh ini bukan gue banget!" rutuk Aditya pelan, memilih untuk segera mandi.
Di lain tempat, Kiki yang baru saja selesai mandi terkejut melihat sang keponakan sudah duduk di tempat tidurnya dengan gaun yang sama.
"Kamu ngapain di sini?"
Dengan wajah memelas, Andhara berbicara, "Biarkan Andhara mandi di sini ya, Tante? Duh ... Andhara belum terbiasa satu ruangan bersama laki-laki lain."
"Belum terbiasa atau ... gugup?"
Wajah Andhara seketika memerah. "Ih ... nggak, Tante. Eh, sedikit deh!"
Kiki tertawa melihat sang keponakan yang salah tingkah. "Ya sudah, sana mandi! Jangan biarin suami menunggu terlalu lama," Wanita paruh baya itu mengerlingkan matanya genit.
"Kesalahan memang membuat keputusan untuk mandi di kamar Tante!" omel Andhara sambil masuk ke kamar mandi.
Dua puluh menit kemudian, Andhara sudah menyeduh tiga cangkir teh. Rambutnya yang masih basah ia bungkus bersama handuk. Kiki yang hendak mengambil minum pun berhenti untuk mengamati sang keponakan.
"Kok keramas? Nanti kan juga bakalan keramas lagi," tanya Kiki sok kalem.
Andhara melebarkan matanya mendengar ucapan Kiki yang lagi-lagi tidak terkontrol. Bahkan bersamaan dengan Aditya yang keluar dari kamar.
"Rambutnya lengket, Tante," jawab Andhara sekenanya.
Kiki hanya mencibir saja, lalu mengambil satu cangkir yang sudah berisi teh. "Ini buat Tante, kan? Tante istirahat dulu, ya? Sukses ya nanti malam! Kasih Tante cucu pokoknya!"
Andhara hanya merengut mendengar keusilan sang bibi lagi. Ia hanya bisa menatap kepergian Kiki dengan muka datar.
"Ini teh buat aku?" tanya Aditya yang tiba-tiba sudah berada di samping Andhara.
"Ehm ... iya, minum tehnya, mumpung masih hangat."
Aditya mengangguk, memundurkan satu kursi dan duduk di sana. Andhara pun mengekori, sambil menyeruput pelan teh herbal yang dibuatnya tadi.
"Maaf ya, Dit, aku nggak pintar untuk mengekspresikan perasaan. Aku benar-benar gugup jika berhadapan denganmu," ujar Andhara memilih jujur.
Aditya tersenyum, lalu mengelus pipi mulus sang istri. "Aku tahu. Aku pun juga begitu, Ra. Kita bisa pelan-pelan adaptasi, bukan?"
Andhara mengangguk saja.
"Dan soal cucu, apa kita bisa membuatnya malam ini?" Mulut Aditya sudah kembali seperti biasa, membuat Andhara tersedak minumannya.
"A-apa?"
"Cucu," ujar Aditya kalem, setengah menggoda, "Tentu kamu tidak ingin menundanya kan, Ra?"
"Aditya!"
Aditya terkekeh pelan melihat semburat merah di pipi Andhara. Gemas, Aditya bergegas melumat bibir tipis Andhara, mengekspresikan perasaannya lewat perilaku. Dan tanpa diberitahu, tentu sudah tahu apa yang mereka lakukan malam itu. Percintaan panas nan menggebu. Pengekspresian kerinduan setelah satu minggu tak berjumpa. Ya, mereka bercinta malam itu, tanpa paksaan dan penindasan seperti yang diterima Andhara beberapa tahun silam. Bahkan akhir dari percintaan mereka disambut senyum indah dari keduanya.
"Andhara...."
"Hmmm?"
"Walaupun pada akhirnya kamu bosan, aku tetap akan mengatakan jika mencintaimu. Aku mencintaimu, Andhara. Kemarin, sekarang, dan sampai nanti."
"Aku juga, Aditya."
***
Sampai jumpa di story baru aku yang berjudul "Waktu yang Berjarak" semuanya!!! :)
KAMU SEDANG MEMBACA
ANDHARA
Ficción GeneralAndhara, wanita berusia dua puluh tujuh tahun. Seorang yatim piatu sejak usianya menginjak tujuh belas tahun di hari jadinya. Dia merangkak dewasa dengan memulai menjadi seorang pengusaha kecil-kecilan bermodal warisan yang ditinggal oleh orang tuan...