BAB SATU

3.2K 304 135
                                    

HARI 1 / JAM 10:42


Begitu dosen itu keluar dari kelas, Hafiz tidak langsung ikut. Masih ada beberapa urusan lagi. Pertama, pastinya, memaki sahabatnya.

"Woy," protesnya. "Beberes aja lama banget lo."

"Yang sabar, dong," protes sahabatnya, Ammar, sambil mulai membereskan alat tulis dan buku catatannya dari meja. "Butuh makan, nih."

"Ya sama," jawab Hafiz sambil memutar bola mata. "'Petan."

"Santai," jawab sahabat gempalnya. Sebenarnya, jika sudah masuk ke urusan fisik, Hafiz tidak merasa mampu macam-macam dengan Ammar. Berdiri tegak setinggi nyaris dua meter dengan tubuh yang tebal oleh otot dan lemak, Ammar bukan jenis anak yang tampak seperti bisa dihajar mampus dengan satu bogem mentah. Untungnya, Hafiz lebih tahu dari itu.

Hafiz sendiri sudah membereskan peralatannya dari sejak Bu Dosen tadi belum selesai menjelaskan materinya. Selalu ada si Rizqi yang bisa ditanya-tanyai, walaupun ganjilnya, dia tidak masuk hari ini. Biasanya Hafiz melihatnya duduk dengan antusias di bangku depan.

Hafiz mengacak sendiri rambut gondrongnya dengan agak tidak sabaran. "Ayo woy. Keburu diospek sampe mati lu."

Semua orang sudah mendengarnya—tragedi rekan sejurusan dari universitas tetangga. Mungkin tepatnya bukan tetangga juga, tapi Hafiz lebih suka menyebutnya seperti itu. Tiga ratus anak dari dua angkatan terbaru Program Studi Psikologi yang berangkat untuk orientasi mahasiswa baru tidak pernah kembali. Tidak ada satu orang pun yang ditemukan selamat. Warga sekitar yang ditanyai juga mengaku tidak ingat apa-apa dari malam sebelumnya.

Beberapa warga yang tinggal dekat dengan TKP malah ditemukan katatonik, entah kenapa.

Ketua Pelaksana acaranya hilang. Senior dan alumni yang sempat hadir dimintai keterangan, tapi mereka tidak bisa banyak menjelaskan karena telah dipulangkan begitu mayat pertama ditemukan. Banyak orang yang hilang, dan jika ditemukan sekalipun, biasanya mereka sudah tewas—nyaris semuanya dengan sangat mengenaskan. Sebagian jenazah bahkan terlalu hancur untuk bisa dikenali, entah karena luka-lukanya atau karena hangus.

Tim pencari bergerak terus dengan asumsi bahwa anak-anak yang hilang masih bertahan hidup, tapi kian hari, mereka semakin pesimis. Mereka menemukan lagi beberapa jenazah agak jauh di luar wilayah Perkemahan serta sebuah tudung acara yang ternyata menampung serbuk pala di atasnya, tapi selain itu, mereka tidak menemukan apa pun lagi.

Universitas terkait sekarang sedang di bawah sorotan media mengenai ospek—malah, kabarnya, akan diadakan guideline orientasi mahasiswa baru yang akan berlaku di taraf nasional untuk semua universitas gara-gara peristiwa ini. Beberapa Badan Eksekutif Mahasiswa memprotes ini. Belum ada berita soal kelanjutan wacana ini.

"Iya, iya. Sebentar."

Ammar akhirnya memasukkan juga tempat pensilnya ke dalam tas dan menutupnya dengan rapi. Hafiz cuma mengangguk.

"Makan di mana, nih?" tanya Lissa dari sebelah Hafiz yang sudah menggerakkan kaki dengan gelisah sejak dosen mereka keluar. "Aku lapar."

"Kantin ramai, enggak?" tanya Nisa dari sebelahnya lagi.

"Jam keluar kelas begini, mustinya iya," gumam Ammar. Satu kebiasaan buruk Ammar yang Hafiz tahu—dia tidak bisa bersuara keras.

"Prasmanan?" tawar Lissa. Hafiz mendengus,

"Bosen," katanya. "Sesekali elit dikit, kek."

"Sesekali itu tiap berapa kali?" sahut Nisa sebal.

Jurit Malam: Tudung SajiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang