HARI 1 / 11:11
Rahman memutuskan untuk keluar dari kelasnya, dan dia mulai merasa bahwa ternyata keputusannya mungkin kurang bijak.
Lobby lantai 4 benar-benar ramai, dan saat Rahman menengok sebentar untuk melihat sumber keributannya, ternyata di tengah sana ada tubuh tanpa kepala.
Persis seperti tubuh Anin di kelasnya tadi.
Rahman bergerak terus, meninggalkan kerumunan yang tengah menangis tersedu-sedu. Dia sadar betul bahwa mereka telah dicurangi—saat diumumkan bahwa segalanya dimulai dari jam sebelas, jam sudah menunjuk jam sebelas lewat tujuh. Mereka kecolongan tujuh menit—yang berarti waktu hingga gelombang maut pertama, mengasumsikan bahwa tidak akan ada pembunuhan hingga jam dua belas nanti, akan tiba dalam lima puluh tiga menit, bukan enam puluh. Bukan selisih yang banyak, tapi sebagai anggota Eksekutif Mahasiswa, itu cukup untuk membuat lehernya gerah.
Tidak secara harfiah, tentu.
Rahman bergerak di bawah komando—Rama mendekatinya tidak lama setelah pengumuman bahwa semua ini secara resmi dimulai bersama Ayza, dan dia menugasi Rahman dengan mencari kawan. Tidak harus kerumunan, tapi yang penting kawan. Seseorang yang bisa mereka percaya. Selama empat puluh sembilan menit ke depan, mereka bisa berharap ada jendela aman berkat shock yang pasti melanda semua orang di gedung ini. Namun, kata Rama, semua itu akan berubah setelah gelombang maut pertama.
Jika pembunuhan acak yang dimaksud oleh para penyandera di bawah adalah seperti yang mereka tunjukkan dengan mencabut leher semua orang secara gaib, mereka tidak akan bisa melawan sama sekali. Pada satu titik nanti, tekanannya akan terlalu besar.
Tidak ada orang yang mau mati begitu saja. Oke, ada beberapa pengecualian, tapi Rahman berani bertaruh bahwa nyaris semua dari seribu seratus dua puluh empat orang yang masih ada di gedung FISIP tidak akan mau mati begitu saja. Yang cuma bisa berarti satu hal: pertumpahan darah yang mereka inginkan akan terjadi.
Rahman memutuskan bergerak turun, karena dia tahu siapa lagi yang bisa dia percaya dan kini sedang berada di kampus: Hafiz. Dalam situasi tegangan-tinggi seperti ini, Hafiz memang bukan orang terbaik yang bisa menjaga emosinya, tapi Rahman tahu Hafiz cukup bisa dipercaya untuk bekerja sama.
Belum lagi, Rahman nyaris tidak pernah melihat Hafiz tidak bersama Ammar. Bulldozer manusia seperti itu jelas merupakan keuntungan sendiri jika berada di pihak mereka dalam keadaan seperti ini.
Menurut pesan instan teman-teman mereka dari kelas Hafiz sebelum segala macam jaringan mendadak hilang, kelas mereka selesai lebih cepat dari kelas Rahman, dan mengetahui kebiasaan Hafiz dan kumpulannya, Rahman tahu ada dua kemungkinan: antara mereka sedang di kantin, atau mereka sudah pergi mencari tempat makan siang. Jika kemungkinan yang benar adalah yang pertama, Rahman sudah tenang. Hafiz percaya pada Rama dan cukup dekat dengan Ayza. Namun jika yang benar adalah kemungkinan kedua ... Rahman turut berduka. Jika menilai dari ledakan dan tembakan tadi, bukan tidak mungkin mereka sudah ditembaki hingga mampus oleh pasukan di luar.
Yang membuat Rahman merasa keputusannya kurang bijak adalah karena posisinya yang sedang berada di lantai 4. Asumsinya dengan Rama dan Ayza memang berdasar, tapi seperti yang ditekankan oleh Rama, dia harus siap dengan segala kemungkinan. Karena itulah dia sekarang membawa sebatang besi kecil yang ditemukan Rama di pojok kelas, disembunyikan di dalam lengan jaketnya.
"Patahan pijakan bangku," katanya waktu memeriksa batangan itu. "Besi. Lumayan sakit untuk memukul. Tonjolan bekas las di sini juga bisa untuk menusuk, walaupun cuma setengah sentimeter."
Lebih dari cukup bagi Rahman untuk kondisi saat ini.
Lobby lantai 3 sepertinya tidak lebih baik daripada di atas—malah, Rahman merasa melihat lebih banyak lagi darah daripada di kelas atau di lobby B4. Dia tidak sedang berniat memeriksa, dan saat ini, tujuannya adalah kantin. Senjata yang dibawanya sudah cukup membuatnya tegang karena mau tak mau, dia jadi terus teringat akan kemungkinan diserang di tengah jalan. Dia tidak butuh distraksi lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jurit Malam: Tudung Saji
Horor"Malam ini tampak gelap. Bagus. Ayo kita mulai." BUKU 2 JURIT MALAM. Rabu. Tepat pukul sebelas siang. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, gedung yang terisi rata-rata seribu orang setiap jamnya, tengah ramai karena jam mata kuliah baru saja seles...