BAB 1

1.9K 101 0
                                    

"Ada rahasia di semua keluarga."

― Jane Austen, Novelis dari Inggris (1775 - 1817)


Naruto melangkah masuk ke kamar besar itu, setiap gerakannya dipenuhi dengan amarah yang tertahan. Tubuhnya tinggi dan kokoh, rambut pirangnya sedikit berantakan setelah perjalanan panjang dari California. Hinata, istrinya, wanita berambut gelap sebahu, sedang duduk di sudut ruangan dengan tubuh yang mulai gemetar saat Naruto, suaminya, mendekat. Tatapan pria itu tajam, dan wajahnya menunjukkan kemarahan yang membara.

"Di mana Boruto?" suaranya rendah, tapi penuh ancaman. Amarah yang ia bawa dari perjalanan jauh meledak begitu tahu putra satu-satunya sudah tak pulang selama seminggu. Hinata yang merasa udara di sekitar mereka semakin menekan, berusaha mengumpulkan keberanian untuk menjawab. Namun suaranya bergetar, tercekik oleh ketakutan yang perlahan membungkus dirinya.

"Suamiku, Boruto, tidak pulang," ujarnya terbata-bata. Mata Hinata mulai basah, tubuhnya kaku, ketakutan membayangi setiap inci dirinya. Ia ingin bangkit, ingin mendekat, tetapi tubuhnya tak mampu bergerak. Ketakutan terbesar di hatinya sudah menghantui—ketakutan akan amarah suaminya yang sering berubah menjadi kekerasan. Ingatan akan malam-malam kelam itu terputar kembali di kepalanya, saat Naruto kehilangan kendali. Tangannya yang dulu penuh kasih berubah menjadi tangan yang menyiksa, menjambak, dan menyakiti. "Dia di rumah temannya," jawab Hinata dengan suara yang nyaris tak terdengar, berusaha sekuat tenaga untuk menenangkan situasi, meski ia tahu kata-kata itu tak akan cukup.

Naruto mengerutkan kening, sorot matanya semakin menajam. "Kau pikir aku percaya?" suaranya bergetar dengan nada menghina. Hinata tahu, suaminya tak memercayainya. Bagaimana mungkin? Boruto, anak yang sangat disayanginya, yang selalu diistimewakan, tidak mungkin dibiarkan begitu saja tanpa kabar.

Kenyataannya, Hinata sendiri tak tahu di mana Boruto. Kebohongan itu muncul dari mulutnya bukan karena niat buruk, melainkan karena ia tak ingin melihat Naruto semakin murka. Namun, semua itu sia-sia. Naruto tak terkendali. Tangannya terangkat, dan suara tamparan menggema di ruangan besar itu. Pipi Hinata memerah, panas yang menyakitkan merayap melalui kulitnya, tetapi yang lebih menyakitkan adalah rasa sakit emosional yang menembus hatinya.

"Kau bahkan tak bisa mengurus satu anak! Bagaimana kalau aku suruh kau mengurus lima anak, hah?" bentak Naruto. Satu tamparan lagi, kemudian satu lagi. Setiap pukulan, setiap kata, menusuk ke dalam jiwa Hinata. Air mata mulai mengalir deras di wajahnya, setiap tetesnya penuh dengan rasa putus asa dan kepedihan.

Hinata menangis, tubuhnya gemetar di bawah amukan pria yang dulu ia cintai tanpa syarat. "Maafkan aku, Naruto... maafkan aku!" teriaknya di tengah isak tangis, tetapi permintaan maaf itu tenggelam dalam amarah yang semakin menggelora.

Di balik semua rasa sakit itu, cintanya pada Naruto masih ada. Tapi cinta itu semakin buram, tenggelam dalam luka-luka yang ia simpan sendiri. Meski begitu, malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, Hinata tahu dirinya akan kembali terkurung dalam penjara rumah yang megah ini, terperangkap dalam cinta yang berubah menjadi siksaan yang tak berujung.

Tempat ini, ruang yang penuh kenangan pahit, menjadi saksi bisu atas penderitaannya. Hinata berdiri di sudut kamar dengan kaki yang bergetar, hampir mati rasa. Dinding-dinding di sekelilingnya seolah menyimpan setiap jerit dan tangis yang pernah ia keluarkan, setiap malam penuh siksaan yang dilalui dalam diam. Bagaimana nanti jika Naruto tahu? Jika suaminya tahu bahwa ia, perempuan yang selalu setia di sampingnya, berencana menggugat cerai? Bagaimana jika Naruto tahu alasan sebenarnya Boruto pergi—bahwa putranya tak tahan lagi menyaksikan ibunya dihina, ditampar, disakiti oleh ayahnya sendiri?

MY HUSBAND [On Karyakarsa] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang