BAB 4

1K 69 0
                                    

"Bunga-bunga padang adalah anak-anak kasih semesta alam, dan anak-anak manusia adalah bunga-bunga cinta dan kasih sayang."

― Khalil Gibran, Penulis dan pelukis dari Lebanon-Amerika (1883 - 1931)

NARUTO:

Menyesal. Benar, itu selalu datang di akhir, saat semuanya sudah tak ada harapan untuk diperbaiki. Siapa yang pernah bilang penyesalan bisa datang di awal? Tidak ada. Ironi kehidupan, selalu kejam, dan aku terperangkap dalam lingkaran itu. Tapi apa gunanya menyesal? Setelah semuanya hancur, setelah jalan kembali sudah tertutup, aku masih berharap bisa mengembalikan semua, walau itu tak lebih dari sebuah khayalan. Namun di sudut jiwaku, selalu ada secercah harapan, kecil, rapuh, tapi tetap menyala—bahwa mungkin, dengan sedikit keajaiban, aku bisa memperbaiki segalanya. Walau aku tahu, aku berbohong pada diriku sendiri.

Hari ini, entah mengapa, aku merasa harus melihatnya lagi. Harus mengatakan—maaf. Tidak sekali, tapi berkali-kali, meski aku tahu semua permintaan maaf itu tak akan berarti apa-apa sekarang. Sejak perceraian itu, aku bahkan tidak punya nyali untuk meminta maaf. Hari terakhir kami bersama, kami bercinta untuk terakhir kalinya, tapi setelah itu, aku hanya menyambar surat cerai dan menandatanganinya. Tak ada sepatah kata pun, tak ada pandangan terakhir. Bukan karena aku tak peduli. Bukan. Tapi karena aku sudah tak punya muka untuk menatapnya lagi. Aku gagal. Aku gagal sebagai suami. Dan sekarang, penyesalan itu mencekikku perlahan, setiap detiknya semakin kuat.

"Aku tetap mencintaimu, Naruto, sampai kapan pun!"

"Kau satu-satunya yang kucintai!"

Apakah kau masih mencintaiku sekarang? 

Masih bisakah kau mencintai seorang pria bodoh sepertiku, yang tak bisa menjaga apa yang paling berharga dalam hidupnya? 

Sebutan bodoh memang pantas untukku. Aku mengingat hari di mana aku berjuang mati-matian, bersaing dengan pria lain untuk memilikimu. Dan ketika akhirnya aku memilikimu, aku merasa menjadi pria paling beruntung di dunia. Semua orang mengagumiku karena berhasil mendapatkanmu. Orangtuaku pun, meski sering mengatakan bahwa aku tak pantas untukmu—bahwa kau terlalu baik untuk pria seperti aku—akhirnya ikut bangga.

Namun, dengan senyummu yang manis itu, kau membuatku menangis di depan semua orang. Kau, dengan lembut, berkata bahwa mencintaiku, si bodoh ini, adalah pilihan terindahmu. Dan setelah semua itu, aku balas dengan menyakitimu, merobek hatimu, menghancurkan lilin yang selama ini menerangi hidupku. Bodoh, bukan?

"Terima kasih, selamat datang kembali."

Senyummu masih sama, manis seperti dulu. Aku hanya bisa menatap dari dalam mobil, diam-diam memerhatikanmu dari kejauhan. Wajahmu yang selalu membuatku lupa akan dunia, masih sama. Suaramu yang lembut, yang selama ini menghantuiku, membuatku nyaris gila karena tak lagi mendengarnya. Dua bulan tanpa suaramu, dan aku hampir kehilangan akal sehatku.

"Ah, maaf, aku harus ke rumah sakit hari ini, jadi toko harus tutup lebih cepat," katanya, sambil melayani beberapa pelanggan yang baru datang. Ke rumah sakit? Apa yang terjadi?

Aku tak tahan lagi. Kuputuskan untuk turun dari mobil dan berjalan mendekatinya. Dia sedang mengangkat beberapa papan promosi dari toko bunganya. Aku berdiri di sana, tak berkata apa-apa, hanya menunggu sampai dia sadar akan kehadiranku. Ketika akhirnya matanya bertemu denganku, aku melihat keterkejutan di wajahnya.

"Uzumaki," ucapnya. Sebutan itu. Sebutan yang dulu kuanggap biasa, tapi sekarang terdengar seperti ironi pahit. Uzumaki? Bukankah kau juga Uzumaki? Ah, tidak. Kau adalah mantan Uzumaki sekarang, bukan? "Ada yang bisa kubantu?" tanyanya, senyum masih menghiasi wajahnya, tapi aku melihat tangannya gemetar. Dia takut. Aku tahu dia takut.

MY HUSBAND [On Karyakarsa] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang