BAB 3

1K 73 2
                                    

"Bukan cuma cinta yang buta, melainkan juga rasa cemburu. Cemburu penuh dendam, dan dendam adalah kepuasan yang tak akan pernah terpenuhi."

― Lawrence Durrell, Penulis dari Britania Raya (1912 - 1990)


HINATA:

Aku menjatuhkan tes kehamilan itu ke lantai, suaranya menggema seperti ledakan di dalam kepalaku. Rasanya seperti terhantam batu besar, mengaduk-aduk semua kepingan realitas yang selama ini aku pegang. 

Jadi, aku hamil? 

Setelah aku memutuskan untuk bercerai darinya, mengapa sekarang takdir mempermainkan langkahku dengan berita ini? Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. Kali ini, dia tidak boleh tahu. Apa pun yang terjadi, aku tidak akan membiarkannya menarikku kembali ke rumah besar itu, tempat di mana setiap sudutnya menyimpan kenangan pahit.

Namun, satu nama menghantui pikiranku, Boruto. Aku tak bisa merahasiakan ini darinya. Dia pasti akan senang memiliki adik. Dalam sekejap, perasaan campur aduk itu datang: bahagia dan cemas sekaligus. Anak kedua, ya? Namun, di tengah semua kebahagiaan itu, aku terjebak dalam kondisi batin yang tidak memungkinkan untuk merasakan kebahagiaan yang utuh. Dia adalah darah dagingku, buah cinta yang tak terelakkan meskipun aku tahu betapa rumitnya hubungan kami.

Tidak ada niatan untuk menggugurkan. Ini adalah buah cintaku dengannya, meskipun setiap kali aku mengingat perlakuannya yang kasar, rasa sakit itu menyayat hati. Di dalam lubuk hatiku yang terdalam, masih ada kenangan akan senyumannya yang merekah, senyuman yang mampu membangkitkan harapan meski pada saat bersamaan, ia juga menghancurkanku.

Saat terakhir kami bercinta, segalanya terasa gelap. Dia mulai menghilang, meninggalkanku dalam keheningan yang mencekam, tubuh telanjangku terekspos di hadapan realitas yang kejam. Matanya dingin, membuatku ingin meraih rahang tegasnya, untuk membawanya kembali ke dunia yang seharusnya kami ciptakan bersama. Tapi tanganku, begitu sakit. Begitu lemah, tak mampu meraih dan mengusap air mata yang mengalir dari kedua matanya, yang menetes ke pipi tegasnya.

"Sampai kapan pun aku tetap mencintaimu, Suamiku."

Deretan kata itu keluar dari bibirku dalam derai air mata, menambah sesak di dadaku. Rasanya seperti menelan batu, ketika aku benar-benar memilih untuk berpisah dan dia menyanggupinya, seolah menandatangani nasib kami yang kelam.

Hidupku cukup tenang di sini, satu bulan lebih aku menjalani hidup sebagai seorang janda. Tidak buruk, aku pikir. Namun, kadang, aku merindukan sosok hangat mantan suamiku. Mata birunya yang kadang menghipnotis diriku, seolah aku menjadi wanita pengidap masokhisme, menerima semua perlakuan kasarnya tanpa daya. Setiap kenangan berputar di benakku, seakan merayu untuk kembali pada masa-masa itu, meskipun aku tahu betapa berbahayanya jalan itu.


BORUTO:

"Benarkah, Bu? Aku akan mempunyai seorang adik?" suaraku bergetar, terkejut saat datang ke rumah Ibu dan mendengar berita yang tak terduga ini. Seolah dunia sekitarku terhenti sejenak. Dalam kebingungan, aku menikmati kembali lemon teh buatan Ibu, aromanya mengingatkanku pada kenangan indah. Aku menatap sosok Ibu yang sibuk melayani pelanggan di Toko Bunganya, seolah dia adalah pusat dari alam semesta ini. Namun, saat Ibu menyebut bahwa semua ini adalah hasil perhatian Ayah, rasa kaget menyergapku. Ayah peduli pada Ibu? Kenyataan ini membolak-balikkan hatiku.

"Aku beritahu kabar gembira ini pada Ayah," ucapku, berusaha meyakinkan diri sendiri. Ibu menoleh, wajahnya dipenuhi ketakutan yang mendalam. "Ibu, ada apa?" tanyaku, terbata-bata, merasakan ada sesuatu yang salah.

MY HUSBAND [On Karyakarsa] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang