November, 2004
Gadis kecil itu termenung dengan menopang dagunya menggunakan kedua tangan dibalik jendela kaca. Sebenarnya aku sedikit ragu menyebutnya "gadis" kecil, karena ia sama sekali tak terlihat seperti perempuan. Entah siapa yang memintanya memotong rambut macam potongan pria seperti itu. Ada sebuah arloji hitam melingkar di pergelangan tangan kirinya. Untuk gadis berusia 6 tahun, mungkin penampilannya sedikit masculin. Iya, gadis itu berbeda dari teman-temannya yang lain. Mereka memanjangkan rambutnya, menghiasnya dengan jepit rambut atau bandana, mereka memakai jam tangan berwarna-warni, mereka juga memakai cincin dan anting. Persamaan gadis itu dengan teman-teman perempuannya yang lain hanya pada seragam yang ia kenakan. Mereka menggunakan seragam sekolah dasar, baju putih rok rempel merah dengan dasi dan ikat pinggang.
Gadis itu termenung merasakan aroma tanah yang basah oleh air yang tumpah dari langit.
"Kamu kenapa belum pulang ?" anak laki-laki tambun dengan alis tebal bertanya ragu-ragu. Wajahnya tampak kebingungan memikirkan haruskah ia memberikan senyuman di akhir pertanyaannya atau tidak ?.
"hujan" gadis kecil itu menjawab singkat tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya dari butiran air yang tumpah dari langit itu. Si anak laki-laki hanya meng-oh-kan. Kecewa, sebenarnya ia mengharapkan jawaban yang lebih dari satu dua kata.
"Aku bawa jas hujan, tapi cuma satu. Kita pakai berdua, mau ?" anak laki-laki itu mengeluarkan jas hujan berwarna merah muda dari ranselnya. Ia menunggu jawaban. Tapi gadis kecil hanya menggelengkan kepalanya pertanda ia menolak tawaran anak laki-laki itu. Dan lagi-lagi ia tak sedikitpun mengalihkan pandangannya dari bulir air yang tumpah dari langit. Si anak laki-laki menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Sepertinya ini akan lama reda. Ibumu pasti kesulitan mengendarai sepeda dengan payung ditangannya. Ini aku pinjamkan jas hujanku. Aku pulang duluan yaa, Juan" anak laki-laki itu meletakkan jas hujannya di atas meja, kemudian pergi. Ia selalu ingat perkataan ibunya, bahwa wanita selalu memiliki hati yang hangat. Tak peduli sedingin apapun ia terlihat di luar. Ia merasa Juan memiliki sisi kehangatan itu. Yang perlu ia lakukan hanya mendekatinya. Menemaninya.
Cuaca yang diramalkan Nizam hari ini tak meleset rupanya. Benar saja hujan tak kunjung reda. Entah sudah berapa lama Juan merenung tak bergerak sedikitpun dari tempatnya. Terdengar derap langkah yang tergesa-gesa di koridor kelas. Tapi Juan tetap tak bergerak dari tempatnya. Jangankan bergerak, mengalihkan pandangannya pun tidak.
"Juan, maaf ibu telat jemput kamu" ucap seorang wanita berkaos biru langit dengan napas masih terengah ia mencoba untuk tersenyum. Juan terperanjat, bukan karena suara wanita itu yang tiba-tiba melainkan melihat keadaan ibunya yang basah kuyup. Tunggu, benda yang digenggam tangan kanannya itu, payung, kan ?. Ia tidak menggunakannya ?. Ah, dia bukan pemain acrobat yang bisa menggunakan payung saat mengendarai sepeda. Ada sesuatu yang menohok hatinya yang coba ia abaikan.
"ini payung kamu pegang yaa, biar kamu engga kehujanan. Nanti kepala kamu sakit" wanita itu tersenyum penuh kehangatan. Damai. Menentramkan. Senyum tulusnya menghangatkan dinginnya hati Juan. Sedikit. Mereka berdua bergegas pulang.
***
"Juan, kamu engga usah payungin ibu. Payungin kepala kamu aja supaya engga kehujanan" senyum tulus kembali menghias wajah wanita itu. Juan meninggalkan ibunya di parkiran.
"Juan kamu mau kemana ?" tak ada jawaban dari Juan.
Apa yang ada di pikiran anak itu. Sebegitu besarnyakah kesalahanku sampai ia pergi meninggalkanku disini ?. Ucap ibu Juan dalam hati. Ia benar-benar merutuki dirinya. Ia merasa bahwa ia telah mengecewakan Juan. Ia membuat Juan menunggunya terlalu lama. Ia hendak mengayuh sepedanya,
YOU ARE READING
Keyword.
General FictionJika itu sebuah kesedihan maka sesulit apapun ubahlah menjadi kebahagiaan walau sedikit. Jika itu kebahagiaan, maka berbagilah. Biarkan orang lain merasakannya meski sedikit. Jika tak selalu dapat menjadi sehangat matahari, maka berusahalah jug...