"Bisa enggak kita istirahat sebentar aja ?" Juan menggerutu karena dari dua jam yang lalu Haikal tidak juga membiarkannya bernapas barang sedetik. Ditambah lelaki itu juga telah mengacaukan minggu paginya. Subuh tadi lelaki itu mengiriminya sebuah pesan untuk bertemu di taman belakang sekolah. Haikal berdecak, "Baru juga dua jam". Bocah itu berhasil membuat mulut Juan menganga. Baru juga dua jam dia bilang ?. Juan rasa Haikal bukan manusia melainkan sebuah mesin. Dia tidak punya hati, kaku, dingin, dan tidak memiliki rasa bosan seperti manusia pada umumnya ketika melakukan suatu pekerjaan tanpa istirahat.
"Males deh gue kerja sama lo. Lamban".
APAAA ?
"Kita ngerjain ini udah tiga kali, tapi belum kelar juga. Aneh. Atau mungkin lo sengaja memperlambatnya supaya lo bisa berduaan sama gue ?". Sekarang Juan sudah naik pitam. Giginya bergemeletuk, kedua tangannya mengepal. Tanpa berpikir lagi ia menjambak rambut Haikal kuat-kuat membuat badan lelaki itu mengikuti arah tarikan. Haikal berteriak keras kesakitan.
" Wow, elo keliatan normal sekarang" Juan menghentikan aksinya, takjub mendengar teriakan Haikal. Lelaki itu bernapas lega, kedua tangannya meraba rambut yang terasa akan lepas dari kulit kepala karena kelakuan bar-bar Juan barusan.
"Sekarang ?. Gue memang terlahir normal" wanita itu terkekeh tidak peduli pada bentakan Haikal. Membuat Haikal memutar bola mata.
"Gue sama Mikaila mikirnya elo enggak punya emosi layaknya manusia"
"Hebat. Jadi selama ini kalian memperhatikan gue. Memang enggak ada orang yang bisa menolak pesona gue". Juan mendengus, sekarang ia yakin Haikal benar-benar manusia berkat kepercayaan diri yang tinggi itu.
"Pikiran kalian gelap sekali" Haikal menggelengkan kepalanya tak percaya.
"Hm.. bener juga sih. Kita malah mikir lo ini seorang gay" Juan menaikkan kedua alisnya. Mulut lelaki itu terbuka, keningnya berkerut tak percaya pada pikiran wanita-wanita gila itu. Tunggu, wanita gila ?. Ya, mereka wanita gila, Haikal tak perlu terkejut mendengar pemikiran yang tidak waras dari kedua wanita gila.
"Emang elo bener suka sama perempuan ?"
"Iyalah"
"Buktiin dong"
Juan, kamu mengatakan kalimat yang salah, sayang. Sedetik kemudian setelah kalimat terakhir yang Juan lontarkan Haikal menarik tubuh wanita itu mendekat padanya. Mata beningnya menatap lekat tiap inchi wajah Juan. Hanya desau angin dan hembusan napas mereka yang terdengar disana. Gemuruh di dada keduanya tersamarkan, juga diabaikan pemiliknya masing-masing. Terlalu gengsi untuk mengakui rupanya. Juan berdehem membuat Haikal melepaskan tangannya dari pinggang wanita itu. Haikal terkikik melihat pipi Juan yang bersemu merah.
"Seorang gay juga bisa membuat pipi seorang wanita bersemu, ya ?" sindir Haikal. Ia meregangkan tubuhnya yang sedikit kaku akibat aksi nekatnya. Setetes air mengenai kulit tangannya. Kepalanya mendengak ke atas. Hujan. Lelaki itu merapikan barang-barang dan menarik lengan Juan berlari masuk ke dalam gedung sekolah.
Mereka berada di sebuah kelas. Juan mengambil tempat duduk di dekat jendela. Lelaki itu memperhatikannya. Kejadian seperti ini pernah Juan alami, entah berapa tahun yang lalu. Ia berniat tidak mengingatnya. Hening tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut mereka, hanya terdengar derasnya hujan disana sampai akhirnya Juan kalah dengan membuka suara.
"Drama ?. Dimana kameranya ?. Dimana sutradaranya ?" Juan terkikik. Matanya masih mengamati segerombolan bulir air di luar. "Kenapa ada manusia se-ajaib elo ?".
YOU ARE READING
Keyword.
General FictionJika itu sebuah kesedihan maka sesulit apapun ubahlah menjadi kebahagiaan walau sedikit. Jika itu kebahagiaan, maka berbagilah. Biarkan orang lain merasakannya meski sedikit. Jika tak selalu dapat menjadi sehangat matahari, maka berusahalah jug...