Finally! I can update this chapter. Sorry for a very late update. Help me to choose other characters besides Harry. Comment who's on your mind. ;)
Zoe's POV
Aku masih duduk di antara kerumunan orang. Kulihat sahabatku, Jessie sedang berdansa dengan pasangannya yang tak kuketahui namanya, but i'm sure he's younger than her. Saat ini, aku tak berniat untuk mencari Harry. Biarkan saja ia tiba-tiba kutemukan dengan mataku. Dan jika itu terjadi, berarti Tuhan belum menyuruhku untuk berhenti. Tapi, jika tidak, berarti aku memang harus terpaksa berhenti dan membuka hari baru. Aku masih ingat bagaimana setahun ini berlalu begitu berat untukku. Untuknya, untuk kita.
*1 year before*
"Zoe, apa ia masih menghubungimu?" Tanya Jessie memecahkan lamunanku tentangnya. Harry.
Aku menghela nafas, "ia menghilang begitu saja." Entah betapa bodohnya diriku, mudah saja dipermainkan olehnya. Mau saja menerima cintanya yang tak lama kukenal. "Bahkan, nomor telponnya saja tak aktif lagi. Ia hanya bilang mengunjungi keluarganya yang tak selama ini."
"Menurutku ia pindah dari sini." Jawabannya begitu menusukku. Tapi memang itu adalah kemungkinan terburuk. Karena ini telah sebulan sejak kepergiannya mengunjungi ibunya. Dua minggu lalu adalah hari terakhir ia menghubungiku dan setelah itu, tak ada satupun sapaan darinya. "Bagaimana jika kau menanyakan kepada keluarganya?"
"Gila kau, aku saja belum dikenalkan sebagai kekasihnya pada tantenya. Apalagi ibunya." Jawabku ngotot. Aku tak bisa seberani itu pada seseorang. Meskipun tantenya adalah tetanggaku, aku belum berani untuk menyinggung hubunganku dengannya. Karena ada waktunya nanti mereka akan tahu, dan itu dari mulut Harry, bukan diriku.
"Hanya memberitahu saja bodoh." Jawab Jessie. "Aku hanya tak ingin melihat sahabatku yang cantik ini tersakiti hatinya. Kau tak pernah mendapat kekasih yang benar, dan aku tak mau jika Harry adalah salah satu dari mereka."
"Terimakasih, tapi aku yakin ia tak seperti itu."
"Buktinya?"
"Ia baik, dan aku tahu itu. Sudah, jangan bicara tentangnya. Apa kau mau aku menangis?"
"Iya-iya tuan putri." Memang hubunganku dengan Harry belum ada yang tahu. Kecuali sahabatku –Jessie dan Helena. Aku telah berhubungan dengannya sejak 2 bulan yang lalu. Bukannya kita merahasiakannya, tapi buat apa status disebarkan jika kita saja masih jauh melangkah. Lagipula kita juga masih sekolah.
Hari ke hari pikiranku hanya melayang menuju satu titik bernama Harry. Aku mulai menyalahkan diriku sendiri terlalu percaya padanya, tapi apa salah jika aku mengikuti kata hatiku sendiri. Tak satupun pesan tertinggal di handphone-ku bahkan seluruh akun social media yang kumiliki, tak ada satupun yang menunjukkan keberadaannya untukku. Mungkin ini cobaan. Pikiranku melayang kemana-mana mengenai Harry, apakah ia benar benar pindah? Mengingat ini adalah bulan ke-tiga kepergiannya, bagaimana jika ia memiliki wanita lain? Atau ada sesuatu yang terjadi padanya? Apa ia dilarang untuk berhubungan denganku oleh ibunya mengingat ia adalah penurut ibunya. Apapun yang terjadi, aku harus siap. Tapi hatiku selalu berpihak padanya untuk tetap menunggu dan percaya padanya. Entah mengapa.
Pikiran gilaku mulai datang, aku ingin menulis diari agar aku bisa berbagi dan bercerita dengannya saat ia kembali lagi. Aku memang tak pernah menulis diari, tapi kali ini aku ingin. Jadi, mulai hari ini aku akan menulis, untuknya.
Ini sudah berbulan-bulan aku menunggunya dan memulai menulis semua hal. Tapi, hal yang aku tunggu tak kunjung datang. Handphone-ku juga tak kunjung berbunyi. Besok adalah hari pertama libur kenaikan kelas, itu berarti sudah hampir setahun Harry pergi dan tak kunjung kembali. Anehnya, aku selalu menunggunya, berharap ia akan mengetuk pintu rumahku dan memelukku. Dan semua itu tak pernah terjadi. Aku mulai meneteskan air mata lagi, karenanya. Berbulan-bulan aku menjadi wanita yang lemah dan suka menangis. Tangisku terhenti saat mendengar tanda Skypeku mendapat panggilan, betapa berharapnya aku jika itu adalah Harry. Namun, itu adalah Jessie. Ia memang selalu menghubungiku setiap hari semenjak kepergian Harry.
"Hey baby." Sapaku dengan suara yang sangat emas sambil mengusap kedua mataku.
"Hey!! How was your night?" tanyanya.
"Same as usual."
"I wish i could be there for you." Ia berhenti sejenak. "You've been hurted Zoe, open your heart for other. Forget him." Aku tahu arah pembicaraan ini, ia selalu mengataka hal yang sama. Dan ini cukup menyakitkan. Seberapa keras aku mencoba bertahan, sebesar itu pula aku tersakiti oleh perasaanku sendiri.
"Aku tak ingin membicarakannya."
"Please, Helena and I want the best for you."
"Thanks, but I'm ok." Perbincanganku denga Jessie berakhir dengan cek-cok karena ia memaksaku untuk melupakan Harry dan aku memaksakan hatiku untuk tetap mempertahankannya.
Summer holiday yang tadinya akan menjadi hal menyenangkan, kini cukup mengecewakan. Aku menjalani liburan ini bersama kedua sahabatku. Kami menghabiskan waktu di California selama ini. Entah, aku mulai berpikiran jika aku harus mulai melupakan Harry. Melihat usaha kedua sahabatku yang selalu membantuku untuk tersenyum dan menjauh dari kesendirian. Dan ini adalah awal baru dalam diriku, melupakan semuanya. Aku harus mencoba.
Harry's POV
"Mom, I need to talk to you."
"What is it sweetheart?" Ibuku menatapku tajam, mungkin karena ia mengerti aku sedang membahas masalah yang sangat serius.
"Aku ingin kembali, ke USA, ke rumah bibi." Kataku singkat.
"Tidak sayang, kau belum sembuh, jangan kembali dulu."
"No, Mum. I have to go back there. I'm 100% fine."
"Kau belum sembuh Harry, tolong pikirkan baik-baik keputusanmu." Apa maksud ibu aku belum sembuh? Jelas-jelas aku sudah baik-baik saja. Tanpa pikir panjang, aku meninggalkan ibuku yang berada di meja makan dan kembali ke kamar. Aku menelepon tanteku sekarang juga, untuk membujuk ibuku. Aku sangat ingin kembali ke sekolah lamaku, entah mengapa.
"Harry!" Bibiku berteriak. "Bagaimana keadaanmu sayang?"
"Aku baik-baik saja. Bi, tolong bantu aku membujuk ibu. Aku ingin bersekolah disana bi." Aku memohon bibiku untuk membantuku. Ini juga untung baginya, karena aku akan menemaninya hingga aku lulus nanti.
"Apa kau bosan Harry? Bibi akan membantumu untuk merayu ibumu nanti." Aku berteriak kegirangan sebelum menutup telepon bibiku. Ibuku tak bisa menolak permohonan tanteku. Lagipula, disini sudah ada Gemma yang akan menemani ibu. USA, I'm coming baby!
Zoe's POV
"Zoe, look around! Plenty sexy guys!" Aku sudah mendengar kalimat itu terlontar dari mulut Jessie dan Jelena seribu kali dalam sehari, tapi tak satupun dari mereka menarik perhatianku, sedikitpun tidak. Mereka mungkin sixpack, bertubuh tinggi, berkulit indah, dan bersuara masculine. Tapi, ak ada dari mereka yang menarik mataku untuk melirik mereka. "C'mon Zoe, bersenang-senanglah." Aku hanya mengangguk dan memutuskan untuk berjalan mencari pemandangan baru, dimana tak ada satupun lelaki yang seperti kudeskripsikan tadi.
Aku berjalan ke arah selatan pantai, dan menemukan sebuah cafe yang berada di pinggir pantai. Aku berpikir ini waktu yang tepat untuk berelaksasi sambil menikmati suasana sunset yang indah. Aku memesan segelas lemonade.
Sudah 20 menit aku duduk disini dan pesananku tak kunjung datang. terkadang sisi kesabaranku habis oleh hal-hal sepele. Kuputuskan untuk berdiri dan berbalik badan.
Bruk!
Aku terjatuh dan segelas minuman mengguyur badanku. "What the hell!" aku berbisik.
"Sorry." Suara ini, suara seseorang yang menabrakku, terdengar sangat familiar. Suara rendah dan terdengar serak ini, mengingatkanku pada seseorang. Aku mendongak dan melihat sesosok pria tinggi, berambut coklat dan keriting, bermata hijau, dan memiliki bibir pink. Ia meraih tanganku dan membantuku berdiri. Aku masih terdiam, saat melihatnya kembali lagi. Ini tak mungkin salah. Ia-lah orangnya.
"Harry..." Panggilku lirih.
Sorry, i broke my promise to post this chap few days back. I have no connection.
What do you think about this chapter? Ah, huge thanks for those who reading my works and vomments it ;)
Please help me to choose a characters. Pretty Please :)
Vomments please😘
KAMU SEDANG MEMBACA
Almost is Never Enough (h.s.)
Fanfiction"Sampai kapan kau akan menunggunya?" "Sampai Tuhan-lah yang membuatku berhenti." Jawabku singkat. Menunggu bukanlah hal yang mudah, jika seseorang yang ditunggu tak pernah mengenali diri kita. ditambah lagi, keberadaan kita dipikirannya hanyalah an...