28 Januari 2015, pukul 18:14
Senja mulai menghilang saat lampu kota mulai dinyalakan, semakin redup hingga langit sepenuhnya berwarna hitam. Kami masih duduk di taman, tempat yang sama saat Alvin datang dengan muka merah dan segala umpatan yang tak pernah kudengar sebelumnya. Peristiwa satu jam lalu masih menyisakan rasa sesal di dadaku, aku menatap Doni yang wajahnya kini dipenuhi luka akibat pukulan Alvin.
"Lo yakin ini udah bener?" ucap Doni untuk ketiga kalinya.
"Iya. Gue lebih nyaman seperti ini." Jawabku sambil menyandarkan kepalaku di bahunya.
Keheningan di antara kami pun tercipta, dia melingkarkan tangannya di bahuku. Setelah mengobati wajahnya yang terkena pukulan, Doni tak berhenti untuk membuatku mengubah keputusan yang sudah kuambil dari awal. Demi Alvin, katanya. Aku tak menjawab. Lebih memilih diam menanggapinya.
"Lo tau? Sampai sekarang pun gue tetep berpikir kalau Alvin adalah lelaki paling brengsek yang pernah gue temui."
"Oh ya?" katanya sambil terkekeh.
"Tentu saja. Dia mengaku sudah tidur dengan lebih dari sepuluh wanita. Kalau tidak brengsek lalu apa namanya?"
"Anggap saja dia si Bolang."
Kucubit lengannya hingga dia meringis.
"Hei, itu bekas pukulan Alvin!" ucapannya membuatku menghentikan gerakanku dan menggantinya menjadi usapan.
"Sori sori. Maaf ya."
Dia hanya menggeleng dan mengacak rambutku. Déjà vu. Kebiasaan Alvin bila aku sudah bersikap menyebalkan padanya.
"Kamu kok suka banget acak rambutku? Susah tahu ngerapiinnya lagi!"
"Itu karena kamu menggemaskan sayang,"
Lalu dia mencium pipiku, hingga kemudian bibirku yang jadi sasarannya. Membuat jantungku berdebar tak karuan. Saat itu adalah pertama kalinya Alvin menciumku."Kenapa?" Tanya dia saat aku melepaskan diri dari bibirnya yang menempel di bibirku. Sungguh aku tak terbiasa dengan itu. Aku takut Alvin akan menertawakanku bila tahu aku belum pernah berciuman sebelumnya.
"A... aku belum pernah ciuman." Bodoh, bodoh. Kenapa aku malah mengatakan padanya? Ini malah membuatku semakin terlihat tidak berpengalaman. Alvin akan memutuskanku saat ini juga.
"Oh ya? Barusan kan kita ciuman?"
"Ma... maksudku itu yang pertama."aku sangat malu namun Alvin malah terlihat geli dengan sikapku. Memangnya kenapa kalau tak pernah ciuman? Huh, dia pasti menertawakanku dalam hatinya.
"Kalau begitu, mulai sekarang kita akan sangat sering melakukannya."
A... Apa?
"Alvin aku... hmmmpfffthhh!"
Dia menciumku kembali. Entah harus senang atau sedih, tapi Alvin malah kelihatan semakin bernafsu padaku. Atau ini hanya perasaanku saja aku tak tahu, yang jelas aku merasa ciuman Alvin semakin lama semakin menuntut. Dia menggigit lembut bibirku seolah memaksa untuk masuk ke sana. Aku pernah lihat di film, tapi apa benar aku harus membuka mulutku. Nanti kalau bau gimana? Terakhir aku sikat gigi kan tadi pagi. Ugh. Tapi akhirnya aku menurutinya juga.
Sesekali Alvin menghentikan ciumannya sebentar lalu melanjutkan lagi dengan semakin beringas. Aku pun semakin membalas perlakuannya. He is a good kisser, aku sepertinya mau mati hanya karena ciuman ini. OH MY.
Dan ahh... apa ini... di dadaku...
"A... apa yang kau lakukan?????"
Aku terkejut saat menyadari tangan Alvin yang sedang meremas payudara kananku. Entah sejak kapan kancing bajuku terbuka dan bra merah mudaku sudah terangkat ke atas. Namun bukannya berhenti, Alvin malah menempelkan mulutnya ke dadaku. Oh My. Ini tidak benar.
"Alvin lepaskan. Aku masih perawan!"
Dia melepaskanku sambil menggerutu kesal. Kubenahi bajuku dan mengancingkannya hingga kembali tertutup."Aku haus sayang.buka lagi ya?"
"Tidak!"
[I]Oh my[/I]. Aku tak percaya baru dua minggu pacaran dengan lelaki ini dia sudah berani menyentuh area pribadiku. Apa dia tidak mau memberiku waktu untuk mempelajari semuanya.
"Wajahmu merah sayang, kamu masih kepengen tuh..."
Lelaki ini."Kalau berani begitu lagi kita putus!"
Aku tertawa mengingat kembali kilasan memoriku dengan dia. Pengalaman yang indah.
"Kenapa?" Doni terlihat heran denganku yang tiba-tiba tertawa.
"Enggak. gue cuma ngerasa, dunia ini lucu. Saat dulu gue pikir bakal selalu bersama dengan Alvin sampai kami menikah dan punya anak, ternyata sekarang kenyataannya berbeda. Waktu telah mengubah segalanya."
"Kita kan tidak pernah merencanakannya. Semuanya terjadi begitu saja."
"Gue tahu. Gue juga gak bisa mencegah semua ini. Cuma bisa berdoa semoga Alvin bahagia tanpa gue."
Doni tersenyum lembut padaku. Saat kutatap kembali wajahnya yang lebam. Rasa sesal itu kembali datang.
"Maafin gue. Karena gue, lo jadi babak belur kayak gini." Kuusap wajahnya, berharap rasa sakitnya bisa lebih berkurang.
Doni menatapku dengan mata hitamnya.
"Ini bukan salah elo. Ini pilihan gue." lalu berkata, "Gue akan bersama lo sampai akhir. Percaya sama gue." ucapnya dengan sebuah lengkungan bibir yang begitu menenangkan.Aku membalas senyumnya dan memeluknya.
"Terima kasih."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
truth
RomanceAlvin harus mereguk pahit, saat mengetahui kalau pacarnya selingkuh dengan sahabatnya sendiri, truth... 18+