Espace; [27] "Asa bukan Ulan"

16.4K 1.3K 301
                                    

Bintang menunggu di teras rumahnya, tangannya saling bertautan satu sama lain. Ia sudah berpakaian rapi walau tak formal, orang tuanya pun begitu. Ada rasa resah di pelupuk hatinya. Sejak Ulan meninggalkan sekolah dan tak kembali, laki-laki itu sangat sulit dihubungi. Ponselnya mati dan Asa juga begitu.

Bintang menghela panjang. Ulan sudah telat 3 jam dan tidak ada tanda-tanda laki-laki itu akan kemari. Secercah rasa cemburu yang menguat namun ditepisnya.

Mereka hanya sahabat.

Hanya satu kalimat itu yang ia yakini, seakan sebuah mantra yang dirapalkan lalu mantra itu akan bekerja sebagai mana mestinya.

Sebuah tepukan di pundak membuat Bintang menoleh, ia langsung memeluk orang yang menepuk pundaknya itu. Dia membagi rasa yang tidak bisa ia definisikan ke Lilana. Lilana pun mengelus punggung anaknya lembut. "Lain waktu. Pasti dia punya alasan khusus. Sekarang kamu tidur aja ya. Besok masih sekolah."

Bintang mengangguk kemudian langsung berjalan menuju kamarnya. Ia langsung merebahkan diri tanpa mau mengganti pakaiannya dengan yang lebih nyaman. Detik berganti menit kemudian berganti jam, namun Bintang masih belum bisa memejamkan matanya.

Ada yang bergejolak. Rasa tak suka membuncah bersamaan dengan rasa kecewa dan marahnya. Semuanya bersatu hingga ia sendiri bingung dengan dirinya. Bagaimana bisa Ulan melupakannya? Bagaimana bisa Ulan tak datang?

Ia menatap datar langit-langit kamarnya. Hening yang panjang, tanpa suara sedikit pun tapi dia masih tak bisa memejamkan matanya. Rasa kantuk pun terasa tak mau mendekatinya, membiarkannya terjaga seakan mengutuknya karena merebut hati milik laki-laki itu.

Pada akhirnya, ia terlelap ketika rasa lelah memeluknya. Lelah akan memikirkan semuanya. Dan pada malam itu, dia bermimpi Ulan meninggalkannya dengan sebuah alasan.

"Maaf, Nta. Ata lebih penting."

***

Ulan menatap pantulan bayangannya lamat. Sosok yang selalu tampak berantakan kini menjadi sangat rapih. Kemeja yang selalu dikeluarkan kini dimasukkan ke dalam celana panjang hitam dengan ikat pinggang. Blazer yang biasanya tak dikancingi kini berganti dengan jas terkancing senada dengan celananya. Dasi yang selalu longgar telah berubah terikat rapi.

Jangan lupakan model rambutnya. Rambut yang biasanya acak-acakan telah rapi dengan sedikit jampul di depannya. Semuanya sempurna. Dia benar-benar berubah 180 derajat.

Ulan menghela saat rasa kantuk tiba-tiba mendera, dia tak bisa tidur sejak kemarin malam dan dia bangun terlalu pagi hari ini, pukul tiga pagi. Tapi bangun kepagiannya membuat ia melakukan perubahan lainnya. Dia menggelar sajadah dan mulai ibadah malam.

Sosok Ulan yang brutal, tukang mainin cewek, suka membantah orang tua sekarang perlahan berubah. Dia menjadi pribadi yang tenang dan kalau kata Ava, laki-laki itu sudah memiliki wibawanya.

Setelah puas memandang objek itu, ia mengambil tas kerjanya. Tas berbentuk persegi panjang berbahan kulit itu sangat ringan. Jujur saja, hari ini hari pertamanya menggantikan ayahnya dan dia sama sekali tak tau harus membawa apa. Alhasil, isi tas itu hanya beberapa kertas HVS, ponsel, dompet, makanan ringan dan alat tulis.

Ia masuk ke dalam mobilnya atau lebih tepat mobil ayahnya. Menurutnya mobil jeep yang dia beri nama Jeepy tidak cocok dengan suasana kantor jadi dia menggunakan salah satu mobil sedan milik ayahnya. Ya, walaupun sebenarnya Ulan sangat menghindari mobil sedan. Alasan klise seperti kebanyakan orang, mabuk darat.

Dia mengatur napasnya dan perlahan mulai mengendarai mobil sedan itu, membelah jalanan ibu kota di pukul delapan pagi. Hari ini bertepatan pula hari pertama Ata kembali ke sekolah pasca operasi pengangkatan batu ginjal. Beberapa jam setelah operasi, Ata sempat dikabarkan kritis dan hal itu berhasil membuat Asa dan Ulan kembali panik dan nekat bolos ke rumah sakit.

EspaceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang