Chapter 1: Langit dalam Senja

35.1K 1.1K 22
                                    

Chapter 1
Langit dalam Senja

***

Hai perkenalkan, namaku Senja Pertiwi sanjaya. Gadis SMA biasa yang berumur tujuh belas tahun. Dimana usia tujuh belas tahun adalah usia penuh dengan kenangan yang akan membawa kita dalam kedewasaan hidup. Aku tinggal dengan Omah dan adik laki-laki ayah yang sudah menikah hampir sepuluh tahun yang lalu. Kenapa aku tidak tinggal dengan orangtuaku? Bunda sudah lama meninggal saat usiaku baru delapan tahun dan dua tahun kemudian ayah memutuskan untuk menikah lagi. Aku tahu, dia mencoba untuk menyembuhkan hatinya karena kematian Bunda. Aku sadar akan hal itu. Dan aku? Aku memilih untuk tinggal dengan Omah, aku tidak ingin mengganggu pernihakan ayah, kehidupan barunya dengan keluarga barunya.

Selain tinggal bersama Omah dan adik ayah, aku juga memiliki seorang sahabat. Sahabat yang juga merangkap menjadi tetanggaku. Dia adalah Langit Ludwig Abraham. Dia adalah langit-ku yang selalu ada untukku. Langit yang selalu untuk Senja.

Meski kami sering bertengkar karena hal-hal sepele tapi, kami cukup kompak untuk masalah kabur dan membohongi keluarga kami saat akan pergi ke tempat yang cukup jauh. Kami memiliki hobi yang sama yaitu musik. Menurut kami, musik adalah bagian jiwa kami yang sedang ingin ditenangkan. Penuh dengan makna tanpa harus diucapkan, cukup mainkan musikmu dan semuanya akan tersampaikan cukup dalam.

"Nja, yuk pulang! Omah-mu pasti ngamuk lagi nih kalo tahu," keluh Langit beberapa kali padaku yang tak kuindahan sama sekali keluhannya. Hari ini, aku meminta untuk mengantarku ke pantai untuk melihat matahari terbenam. Entah kenapa aku ingin melihat senja di pantai.

Dia terlihat menggelikan dengan wajah tertekuknya, suara tawa lolos dari bibirku melihatnya yang bersilang tangan di dadanya dengan mulut yang terus komat-kamit sumpah serapahnya untukku, "Udah ah! Ngomel mulu kayak Omah! Nikmati aja senjanya," ucapku yang melangkah beberapa langkah lebih mendekat pada garis pantai. Tak hayal air laut menjilat-jilat kaki telanjangku. Sedikit hangat airnya. Tapi bukan itu yang sedang kunikmati, senja sore hari yang begitu indah. Ciptaan Tuhan yang begitu indah bak sebuah lukisan indah, lukisan yang tak bisa disama-samakan dengan karya Leonardo da Vinci ataupun dari yang lainnya. Karya Tuhan lebih indah, sangat indah.

Mataku kontan terpejam saat angin laut menerpa wajahku. Aroma air laut. Suara deburan ombak yang menerjang bibir pantai dan karang-karang yang tak jauh dari tempatku. Suara burung-burung yang mulai akan kembali ke sarangnya bak alunan musik yang begitu indah untuk didengar.

"Ayok pulang!" ajak Langit yang sudah menggenggam tanganku.
Aku memandangnya sebal. Dia menggangguku untuk menikmati karya Tuhan yang tiada duanya ini. "Dasar Penganggu," makiku kesal.

Dia hanya tertawa mendengarnya dan menarik tanganku untuk mengikutinya menjauhi bibr pantai menuju sepeda motornya yang sengaja ia parkir tidak jauh dari tempat kami sekarang. "Aku lebih senang kau memakiku seperti itu dari pada aku kena jewer Omah," ujar Langit yang memakai jaket hitamnya yang tersampir pada setir motornya. Dia menyerahkan jaket kulitku yang berwarna cokelat. "Biar ga masuk angin,"

Aku menurut dan memakainya dengan cepat. Dia juga menyerahkan helm hitam padaku. Kulihat dia merogoh saku celana jeans behelnya lebih dalam untuk mencari kunci sepeda motornya. Ada rasa panik sekilas dari raut wajahnya tapi kemudian berubah menjadi kilatan senang saat dia menggeluarkan kunci sepeda motornya dan menancapkannya pada tempatnya.

"Ayo naik! Kita nanti terlambat pulang," suruh Langit yang sudah menyalakan sepeda motornya. Aku menggangguk lemah dan naik pada boncengan sepeda motornya. Tanganku melingkar dengan pas pada pinggangnya yang ramping.

"Udah turun berapa kilo?" tanyaku padanya saat sepeda motornya mulai berjalan meninggalkan kawasan pantai untuk menuju area jalan raya.

"20 kilo," jawabnya singkat.

LANGIT untuk SENJA [FINISHED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang