Amanita, Si Cantik yang Mematikan (Part 2 of 3)

78 6 0
                                    

Gawat! Aku ketahuan!

Aku beralih dari depan pintu dan segera bersembunyi di salah satu ruang yang gelap. Panggilan masuk dari kak Alfa kureject. Akan sangat beresiko jika aku bersuara dalam keadaan seperti itu.
Dengan gemetar kuketikkan pesan singkat pada kak Alfa untuk menceritakan apa yang kulihat dan bagaimana keadaanku saat ini. Masih terbayang jelas di memori-ku, sesosok pemuda terikat di sebuah kursi besi dengan kondisi mengenaskan. Tubuh dan tangannya diikat dengan kawat. Mata kanannya mengeluarkan darah. Ada lempengan besi berduri yang melingkar di kepalanya. Aku menduga kalau dia baru saja disetrum dan dicambuk. Kemeja putih dan celana katun yang dipakainya bersimbah darah. Tubuhnya yang penuh luka tampak mengejang dan bergetar. Ia seperti kehabisan napas. Tatapan matanya kosong. Susah payah aku menahan airmataku agar tidak tumpah. Aku pun tidak dapat menghentikan tubuhku yang gemetar sejak tadi. Aku takut. Takut sekali.

Terdengar langkah kaki mendekat. Aku menahan napas, membuka mataku lebar-lebar, mempertajam pendengaranku dan memeluk ransel kesayanganku erat-erat. Ketika sampai di tempat persembunyianku, langkah kaki itu menjadi perlahan.

"Mungkinkah mereka tahu aku di sini? Siapa saja, tolong aku!" Aku menjerit dalam hati. Menggigit bibir bawah sambil memejamkan mata erat-erat.

Jantungku berdebar dengan keras, seperti ada petinju yang sedang memukuli dadaku. Semoga mereka tak mendengarnya. Perlahan langkah kaki itu menjauh. Aku membuka mata dan mulai dapat bernapas lega.
"Fiuh ... ."
Kuhembuskan napasku perlahan untuk mengurangi ketegangan yang sejak tadi menyelimuti tanpa henti.
Baru saja aku dapat bernapas lega, tiba-tiba sesuatu membuat jantungku seperti mau loncat keluar melalui mulut saat sebuah tangan dingin, lengket dan berlendir menggenggam tanganku dari balik kegelapan.

"Aaaaa!!!"

Aku berteriak sejadinya dan lari meninggalkan ruangan itu. Apa yang menyentuhku tadi? Hantu kah? Bagaimana bisa hantu menyentuh tangan manusia di siang bolong begini. Bukankah jadwal mereka berkeliaran bila senja sudah menjelang? Setidaknya itu yang kuingat dari salah satu buku yang kubaca. Aku terus berlari menyusuri lorong yang gelap, tak tahu ke mana sebaiknya pergi. Aku ... tersesat.

"Tenang, Rey ... Jangan panik! Berpikirlah, pasti ada jalan keluarnya. Jangan sampai mati konyol di tempat ini." Batinku mencoba menenangkan diri. Benar, di saat seperti ini kita tidak boleh panik. Tenang. Ambil napas dalam-dalam dan pikirkan semuanya dengan tenang. Pasti ada solusinya. Setelah cukup tenang, kupastikan sekelilingku aman, berharap teriakanku tadi tidak mengundang pelaku kejahatan berlari ke arahku atau bahkan mengusik penghuni tak kasat mata bangunan tua yang kumasuki secara illegal itu.

Aku merasakan sesuatu dalam genggaman tangan. Sebuah benda kecil, sedikit keras namun terasa lengket dan berbau anyir -darah-. Saat aku menyinarinya dengan senter yang ada di ponsel, ada bercak darah yang hampir mengering di tangan dan tampaklah sebuah benda kecil berlumur darah. Kubersihkan dengan tisu. Sebuah clay berbentuk jamur berwarna merah dengan bintik-bintik putih yang khas. Setahuku itu salah satu jenis jamur beracun, tapi aku lupa namanya.

Tiba-tiba seberkas cahaya tersorot ke arahku. Aku terkejut karena tidak mendengar suara langkah kaki yang mendekat akibat bisingnya suara mesin pabrik. Tubuhku kaku. Aku tidak bisa bergerak. Hingga cahaya tersebut semakin dekat dan bergerak cepat. Ya Tuhan, lindungi aku!

Amanita, Si Cantik yang MematikanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang