Prolog

38.2K 283 24
                                    


Angin menderu-deru, menyibak pohon, mengiris semak, dan mematahkan ranting. Daun-daun terputus dari tangkainya, melayang-layang, terempas di kaca jendela, menimbulkan bunyi gesekan-gesekan samar. Mengundang tanya. Mahendra yang semula terpejam sontak membelalakkan mata. Dia menghampiri jendela dan membukanya. Matanya yang semula redup langsung bersinaran. Terpana.

Halaman rumahnya telah berubah menjadi hutan gelap. Sejak kapan pohon-pohon besar itu tumbuh dengan demikian pesat padahal seminggu yang lalu dia hanya menanam dua bibit pohon mangga di sana. Apakah dia menanam pohon ajaib yang mampu tumbuh besar dan melipatgandakan jumlahnya hanya dalam waktu semalam? Tapi pohon mangga bukan jenis amoeba yang berkembangbiak dengan membelah dirinya, hanya orang idiot yang berpikir seperti itu. Tidak mungkin bisa demikian. Bahkan sebutir kacang polong yang bisa tumbuh menembus langit dalam waktu singkat itu hanya dongeng belaka. Tapi kenyataannya halaman rumahnya telah berubah menjadi hutan yang luas. Mereka telah menutupi jalanan dan rumah-rumah tetangganya.

Suasana mencekam. Tak ada suara lain selain suara angin yang meribut sejak tadi. Mahendra kebingungan. Ada hal lain yang memecah kebingungannya, menamparnya dalam satu tarikan sensasi keheranan. Sebuah cahaya menjulang di kejauhan. Darimana datangnya menara penuh lampu itu? Mahendra teringat dengan gambaran menara Eiffel di Perancis, hanya saja menara yang ini hanya punya satu kaki. Dia nampak seperti kaki pincang di kejauhan dan terlihat begitu menderita. Mustahil menara itu bisa berdiri dengan bentuk arsitektur seperti itu, namun nyatanya dia malah nampak kokoh dalam kepincangannya. Menara itu seperti tak mengenal hukum keseimbangan. Di puncaknya berkibar-kibar kain-kain putih terbentang yang menari-nari dengan membabi buta seakan hendak mencapai trance. Mahendra segera menghambur keluar. Dia berlari menembus hutan, menuju menara bercahaya itu. Mahendra tidak lagi merasa seperti manusia. Dia merasa dirinya seperti serangga yang terbang menuju cahaya untik menjalani takdirnya.

Langkah kakinya terasa berat. Angin mempersulit gerakannya. Anehnya dia bisa melihat dalam gelap. Sesuatu membimbingnya, membesarkan pupil matanya layaknya rangsangan racun bunga beladona dalam darahnya. Sesuatu yang tidak dia tahu, suatu ekstasi. Mahendra seakan sudah tahu jalan yang ditujunya. Saat sampai di kaki menara, dia terenyak. Ternyata menara itu jauh lebih tinggi dari kelihatannya. Dari balik sudut hutan yang lain muncul sesosok tubuh yang berjalan santai menuju menara. Mahendra tertegun. Dia seorang wanita dengan pakaian hijau yang biasa dipakai oleh pasien rumah sakit sebelum operasi. Betisnya yang telanjang berwarna putih susu. Rambutnya berkibaran. Wajahnya bercahaya, bahkan seluruh tubuhnya. Dia nampak seperti kunang-kunang berbaju hijau.

"Tania?" gumam Mahendra tak percaya.

"Mahendra, ikutlah denganku."

"Kemana?"

Tania tidak menjawab. Dia malah segera menaiki tangga menara itu. Mahendra ingin mencegah namun lidahnya kelu. Tania semakin naik, Mahendra tak punya pilihan selain mengikut naik. Aneh, Mahendra tak merasa capek, semakin naik ke atas energinya semakin bertambah. Tak ada peluh yang menetes.

Tania menyambutnya dengan senyum aneh saat Mahendra telah sampai di puncak.

"Tania, apa yang ingin kamu lakukan di atas sini?"

"Belajar berjalan."

Tanpa menunggu lama Tania melangkahkan sebelah kakinya ke udara kosong.

"Taniaa!!" jerit Mahendra. Tania menghentikan gerakannya dan sekali lagi tersenyum.

"Tidak apa-apa."

Tania melangkahkan kaki sebelahnya lagi. Mahendra memejamkan mata.

"Buka matamu. Tidak apa-apa." Mahendra membuka matanya dan terpana. Tania berjalan-jalan di udara bebas, di ketinggian lebih dari tiga puluh meter.

"Kamu mau mencoba?"

Mahendra meragu.

"Kamu tidak akan jatuh," kata Tania meyakinkan.

"Tapi..."

"Jika pun kamu jatuh kamu akan jatuh di lautan bebas."

"Tidak mungkin."

"Lihatlah sendiri."

Mahendra melongokkan kepalanya ke bawah. Mulutnya terbuka. Di bawahnya lautan berdeburan, ombaknya menjilat-jilat kaki menara. Kemana hutan tadi? Sepanjang mata memandang dia hanya menemukan lautan.

"Ikutlah aku," bisik Tania kembali.

Mahendra menuruti bisikan Tania. Sudah lama dia merindukan gadis itu. Kakinya melangkah ke udara bebas. Jantungnya berdegup kencang namun dia masih melayang di udara. Saat tangannya akan merengkuh tangan Tania suatu dorongan kuat mengempaskan Tania. Dia terjatuh ke lautan yang terbelah dan berpusar dengan kencang hingga berubah menjadi lubang cacing. Tania meluncur cepat, tepat pada mata lubang hitam. Dia lenyap dalam sekejap.

"Taniaaa!!!"

###

Mahendra terduduk tiba-tiba. Keringatnya bercucuran. Jam wekernya menjerit.

Sudah pagi.

Setelah mengatur napas dia beranjak. Mimpi ini selalu berulang tiap malam namun setiap dia bermimpi rasanya baru pertama kali itu dia mengalaminya layaknya sebuah pengalaman baru yang menakjubkan. Sayangnya pengalaman ini bukan suatu jenis yang bisa meniup paginya dengan lebih cerah. Mahendra menjalani paginya dengan muram. Dia sama sekali tidak menikmatinya. Sudah lama dia tak pernah menikmati paginya. Saat selesai mengenakan seragam, hpnya berbunyi.

"Dra, kamu dimana?"

"Masih di rumah."

"Berangkatlah langsung ke Hotel Nusa. Ada kasus."

"Baik," jawabnya sambil menutup hp.

Mahendra menatap layar hp-nya. Jam sembilan pagi.

SEX in CHATTINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang