MAYAT

26.2K 231 33
                                    


Kedua mayat itu berada di kamar hotel nomer 415 yang berantakan. Dua mayat. Perempuan dan laki-laki. Keduanya hampir telanjang bulat. Si mayat perempuan terlentang di atas ranjang, kakinya tertekuk sebelah, kepalanya miring, rambut panjangnya berserakan, dan matanya terbelalak di antara untaian rambut itu. Dia hanya mengenakan celana dalam merah yang melorot sebelah, memerlihatkan sedikit bulu-bulu halus di bagian intimnya. Di bahunya ada bagian kulit yang lebih terang dari sekitarnya dan membentuk pola tali bh. Sepertinya dia terbiasa mengenakan pakaian minim semacam tank-top. Payudaranya lunglai namun kedua putingnya masih berusaha menentang gravitasi bumi.

Sebelumnya mayat itu tergantung di pintu kamar mandi dengan jeratan tirai kamar mandi di lehernya. Mayatnya sudah diturunkan oleh pegawai hotel dan dibaringkan di ranjang kamar sebelum polisi dan tim forensik datang. Mahendra sangat menyayangkan hal tersebut. Pemindahan mayat justru telah merusak TKP. Hal ini semakin membuat mood Mahendra merosot.

Si mayat laki-laki terduduk di lantai dengan bersandar di tembok. Gumpalan darah mengental di belakang kepalanya. Rambutnya yang dicat kuning telah bercampur merahnya darah. Ada cipratan merah di dinding tepat di atas kepalanya yang berepisentrum lebar kemudian melorot ke bawah seperti sapuan kuas cat mengikuti sumber darah itu berada: kepala yang kemungkinan besar pecah. Cipratan itu lebih mirip lukisan abstrak ekspresionis karya Pollock. Hanya saja yang ini memiliki tingkat emosional yang tinggi karena menyangkut hilangnya sebuah nyawa. Mungkin akan sama-sama mengguncang jiwa jika Pollock melukis karya abstraknya dengan menggunakan telinga Van Gogh. Tentu saja semua itu hanya ada dalam imajinasi Briptu Mahendra yang sedikit ngelantur. Dia bosan karena belum menemukan petunjuk yang diharapkannya. Instingnya mengatakan bahwa dua mayat itu akan membawanya pada sebuah petualangan baru.

Briptu Mahendra melirik seorang anggota tim forensik yang memfoto mayat laki-laki dan cipratan darah di dinding. Kilatan blits berkali-kali terpantul dari sepasang mata melotot si mayat laki-laki. Meski begitu mata itu sudah tak mampu menangkap cahaya apapun, seperti nyala lilin yang sekarat. Mahendra ingin menutup mata itu yang seakan selalu mengikuti kemana pun dia bergerak. Namun sebelum seluruh area itu diperiksa dia memilih untuk tidak berbuat apa-apa.

Briptu Mahendra adalah seorang laki-laki bertubuh atletis, sedikit gempal pada bagian bahu, berwajah dingin, namun sorot matanya lembut. Dia memiliki aura dimana setiap orang nyaman dekat dengannya meski dia bukan jenis pria yang suka bicara. Malahan, sekali bicara tidak bakalan enak didengar. Omongannya selalu tajam dan terdengar ketus. Satu-satunya yang membuatnya terlihat sebagai pria menyenangkan adalah sorot matanya yang terlihat bersahabat.

Dari jendela yang terbuka dia mendengar kesibukan pelayan hotel yang sedang mempersiapkan resepsi pernikahan. Suara denting sendok, gesekan meja, bercampur dengan musik gamelan dari kaset. Mahendra sempat melihat kesibukan itu saat dia memasuki lobi hotel yang telah dipasangi hiasan-hiasan serba merah jambu. Bulan ini memang musim pernikahan. Dimana-mana janur kuning melengkung baik itu di gedung, hotel maupun di mulut gang kampung. Semua ini membuatnya muak. Dia membenci pesta perayaan pernikahan. Lebih tepatnya dia mengasihani dirinya sendiri yang tidak bisa melepaskan diri dari masa lalu. Sekilas dia teringat mimpinya namun cepat-cepat dia menggelengkan kepalanya, mengusirnya dengan buru-buru. Dia sedang kerja dan dia tidak ingin kehilangan fokus.

Matanya kembali nyalang mengamati kedua mayat itu. Suara gamelan yang mendesis dari bawah membawa nuansa aneh di dalam kamar ini. Seakan musik yang seharusnya diperuntukkan untuk mengantarkan kebahagiaan terpaksa sumbang karena kematian. Isi kepala Mahendra disibukkan oleh berbagai macam pertanyaan. Apakah si perempuan membunuh si laki-laki lalu gantung diri atau ada orang ketiga dibalik pembunuhan itu?

Menurut keterangan seorang laki-laki setengah baya yang menginap di kamar 412, dia mendengar suara pertengkaran di malam hari sebelum kedua mayat itu ditemukan pagi harinya. Suara laki-laki dan perempuan. Dia hanya mampu mendengarnya samar-samar karena kamar 415 berada di depannya. Dua kamar yang mengapit kamar 415 yaitu kamar 413 dan 417 kosong. Laki-laki itu tidak begitu jelas mendengar apa yang dipertengkarkan mereka. Dia hanya berasumsi bahwa mereka bertengkar.

SEX in CHATTINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang