Aku tidak percaya ada ibu yang menyuruh anak perempuannya untuk masuk ke dalam kandang tikus!
Aku tidak peduli apa tikus benar-benar punya kandang atau apartemen atau apalah—aku benar-benar tidak percaya! Teganya ibu itu.
Mau tahu yang lebih parah lagi? Ibu yang baru saja kubicarakan adalah mamaku sendiri. Yang artinya, aku adalah anak perempuan yang disuruh masuk ke dalam kandang tikus.
"Kamu kok belum berangkat juga?" itu Mama. Sedang berjalan dengan santainya ke arahku. Ia baru saja keluar dari dapur. Tangan kanannya menggenggam jus berwarna merah yang mencurigakan. Catatan penting untuk kedamaian bangsa dan negara: jangan pernah makan atau minum sesuatu yang dibuat oleh Mama. Mau tahu kenapa? Kuberi satu contoh, ya. Mama pernah membuat jus wortel campur nangka dan coca cola.
Mau tahu yang lebih aneh lagi? Mama meminumnya dan berkata minuman itu enak. Bahkan Papa setuju dengannya. Mungkin itu karena cinta. Tapi kalau cinta berarti harus minum minuman beracun, kayaknya aku mau mikir dua kali sebelum jatuh cinta.
"Malah melamun," tegur Mama.
Aku mengerjapkan mata. "Eh—"
"Sana cepat ke panti jompo," sela Mama.
"Kenapa enggak kasih ke tetangga kita aja? Nanti kan, dia bisa kasih ke panti jompo," elakku. "Lagi pula, sekarang kan musim hujan. Kalau aku kehujanan terus basah gimana?"
Mama menggeleng-gelengkan kepalanya. "Sekarang belum mau hujan kok, kayaknya," kata Mama. "Pokoknya, kalau kamu enggak mau anterin, Mama potong uang jajan kamu. Tapi kalau kamu mau anterin...."
"Apa?" tanyaku. Semoga Mama mau membelikanku baju terbar—
"Mama bakal buatin minuman spesial buat kamu!" Mama menyela pikiranku.
Aku buru-buru menggeleng. "Enggak, makasih. Eh, maksudnya, iya. Aku anterin bingkisannya. Tapi enggak usah dibikinin minuman."
Mama menatapku dengan heran. "Kenapa? Gratis lho!"
Aih. Gratis sih, iya. Tapi mati juga iya.
"Enggak apa-apa," kataku. "Ya udah, aku pergi dulu. Dadah!"
[.]
Aku tidak punya pilihan lain. Oke, sebenarnya aku punya.
Pilihan pertama adalah, masuk ke kandang tikus.
Pilihan kedua adalah, bersembunyi di kamarku dan tidak pernah menampakkan wajah kepada dunia lagi. Kemudian aku akan membusuk sebelum bisa menonton musim keenam Teen Wolf.
Menyebalkan. Aku terpaksa memilih pilihan pertama.
Aku memarkirkan sepedaku asal-asalan, lalu berjalan gontai menuju rumah itu. Kandang tikus itu. Rumah bercat abu-abu kecil, dengan nomor rumah T1. Hah. Rasanya aku ingin menambahkan KU5 sesuai dengan penghuninya.
Aku menarik napas dalam-dalam lalu menghembusakannya perlahan. Aku bisa melakukan ini.
Aku mendorong pagar abu-abu di depanku, lalu berjalan menuju pintu depan rumah. Setelah menekan bel dua kali, akhirnya pintu di hadapanku terbuka.
"Rea!"
Aku mendongak dan mendapati Nenek Rahmi sedang tersenyum lebar di hadapanku. "Itu bingkisan dari ibumu?"
"Ya," jawabku kelewat cepat. Kuharap Nenek Rahmi tidak menganggapku anak kurang ajar yang tidak tahu sopan santun. Apa? Hei, aku anak yang sopan—yah, kalau bagian mengatai-panti-jompo-sebagai-rumah-tikus tidak masuk hitungan.
Nenek Rahmi menerima bingkisan di tanganku. Ia tersenyum senang. "Makasih, ya," katanya. "Omong-omong, Nenek udah jarang ngelihat kamu di sini. Masuk, yuk. Yang lainnya pasti juga mau ketemu kamu! Kita bisa ngobrol bareng."
'Ngobrol bareng' katanya? Apa aku yang kurang pengetahuan, atau memang definisi mengobrol adalah menyiksa seorang remaja perempuan dengan berbagai macam bahasan soal tanaman herbal, benang rajutan, taplak meja, dan berbagai hal khas nenek-nenek lainnya?
Aku berusaha memasang senyum setulus mungkin. "Mungkin lain kali," kataku.
Nenek Rahmi tampak kecewa. Untungnya yang menyambutku hari ini adalah Nenek Rahmi, dan bukannya Nenek Ida. Soalnya, kalau Nenek Ida yang menyambutku, ia akan memaksaku masuk dengan berbagai macam cara. Aku tidak melebih-lebihkan. Nenek Ida pernah menangis keras-keras sampai mengundang perhatian tetangga hanya karena aku tidak mau masuk.
"Ya udah, deh. Bener, ya, kapan-kapan mampir." Nenek Rahmi melambaikan tangannya. "Dadah."
Aku tersenyum dan balas melambai. Setelah Nenek Rahmi berjalan memasuki kanda—maksudku, rumahnya, aku membalikkan tubuhku lalu berjalan pergi. Aku baru akan menaiki sepedaku ketika sebuah sepeda melaju dengan cepat melewatiku. Membuatku merasa baru terkena angin topan.
Aku mengernyitkan dahi. Siapa sih, orang itu? Memangnya dia kira dia siapa? Pembalap terkenal? Apa namanya Valentine Roses?
Aku merapikan baju yang sedikit kusut kemudian menaiki sepedaku. Beberapa detik kemudian, aku baru sadar bahwa Valentine Roses mengarah ke jalan rumahku!
Aku mengendarai sepeda secepat mungkin, dan sampai di rumah tidak sampai dua menit. Ini rekor.
Napasku tersengal-sengal. Tubuhku lengket oleh keringat. Tapi rupanya, usahaku tidak sia-sia. Valentine Roses parkir di depan rumahku!
Oke, tidak tepat di depan rumahku. Dia memarkirkan sepedanya di depan rumah yang terletak di sebelah rumahku. Tapi kan, tetap saja! Seingatku rumah itu milik Tante Sarah yang merupakan...
Anak Nenek Ida yang tingkat kecerewetannya melebihi ibunya!
Karena penasaran, aku berjalan menuju rumahku, berusaha terlihat cuek dan santai, bukannya seperti cewek aneh yang bersepeda gila-gilaan hanya untuk mengikuti pembalap bernama Valentine Roses.
Aku melangkah memasuki rumah dan segera bergegas menuju kamarku. Di kamarku, ada jendela yang mengarah persis ke jendela di rumah sebelah.
Jendela yang bersebelahan dengan jendela kamarku memang tidak pernah menampakkan apa pun selain tirai yang tertutup rapat. Tapi, boleh kan sedikit mengkhayal?
Aku melangkah menuju jendela kamarku dan aku tertegun. Jendela di seberang tidak lagi menampakkan tirai yang tertutup rapat. Jendela itu menampakkan sebuah kamar. Tapi bukan itu yang membuatku tertegun.
Sejak kapan ada cowok tinggal di seberang kamarku?[]
KAMU SEDANG MEMBACA
Pergi
Short StoryOrang bilang, nama adalah doa. Tapi mana ada orangtua yang menamai anaknya sendiri dari tahapan pembentukan urin? Ya, orangtua Rea menamakan anaknya berdasarkan proses reabsorpsi. Mereka dokter, kalau belum jelas. Rea yakin, kalau ia punya kakak lak...