02/03/16

16.7K 2.4K 505
                                    

Hal yang pertama kali aku lihat dari cowok yang duduk di ruang tamuku adalah, rambutnya yang acak-acakan. Kalau ada kontes kerapian rambut, dia pasti kalah dari singa.

Yang kedua adalah, matanya yang sayu. Gara-gara mata itu, wajahnya jadi kelihatan agak melankolis. Aku baru akan menghubung-hubungkan cowok itu dengan puisi kacangan yang sering dibaca Mama, ketika aku menyadari hal ketiga: wajahnya lumayan. Yah, bukan tipeku sih, tapi lumayan.

Yang keempat dan yang paling penting adalah, cowok itu jelas-jelas lebih tua dari aku. Kuulangi ya, cowok itu LEBIH TUA DARI AKU.

Jangan-jangan, Mama baru mengadopsi seorang kakak laki-laki untukku? Atau apa sebenarnya, aku dari dulu memang punya kakak laki-laki, tapi Mama menyembunyikannya dan baru mengeluarkannya dari gua-entah-apa sekarang? Ya ampun, kalau benar begitu, untuk apa selama ini aku merengek minta kakak laki-laki?

Aku baru akan membuka mulutku, ketika cowok-yang-lebih-tua-dari-aku itu menoleh dan tatapan kami bertemu. Aku bersumpah, aku merasakan sesuatu di dadaku. Semacam perasaan berdebar-debar. Ah, mungkin ini rasanya bertemu dengan saudara yang selama ini bersembunyi di gua.

Kurasa, cowok di depanku juga merasakan hal yang sama. Raut wajahnya berubah, dan tiba-tiba saja dia membuka mulutnya. Aku yakin seratus persen dia akan mengatakan, "Dek! Ya ampun! Abang kangen banget sama kamu!" Lihat saja. Aku tidak mungkin salah.

Cowok itu berkata, "Laras?"

Tuh ka—

Eh, apa katanya?

Laras?

Oh, mungkin Laras adalah sebutan untuk adik dari tempat asalnya.

Aku tersenyum sambil melangkah maju. "Hai."

Cowok itu tertegun. Ia kemudian bangkit dan berjalan ke arahku. "Laras?" gumamnya.

"Eh, bisa enggak, Kakak ngomong pakai bahasa Indonesia aja?" tanyaku. "Aku enggak ngerti."

"Laras?"

Aih. Ini orang atau robot yang bisanya cuma berucap 'Laras', sih? Oke, coba aku tes.

"Nama Kakak siapa?"

Kalau dia sampai bilang Lar—

"Satria," jawabnya. "Kamu lupa sama Kakak, Ras?"

Kakak! Dia bilang kakak! Dugaanku benar! Hore!

Aku baru akan menari-nari ala tari kecak ketika Satria tiba-tiba memelukku. Yah, aku sih tidak keberatan kalau dipeluk oleh kakakku sendiri, tapi dia memeluk terlalu kencang! Aku bisa mati!

"Satria." Teguran itu membuat cowok di hadapanku melepas pelukannya. Ia menoleh dan menatap Tante Sarah—anak Nenek Mawar.

"Kamu ngapain peluk-peluk Rea?" tegur Tante Sarah. "Kamu naksir dia, ya?"

"Rea?" Satria menoleh ke arahku sekilas. Ia kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berkata, "Dia Laras."

"Laras apaan, sih?" tanyaku tidak tahan.

Tante Sarah menatap Satria dengan mata disipitkan. Setelah beberapa saat, ia mengangguk-angguk. "Satria, dia bukan adik kamu."

Ha? Apa maksudnya?

Aku dengan cepat menoleh ke arah Mama yang sedang sibuk mengaduk tehnya. "Ma, Satria siapa?"

Mama mengangkat wajahnya dan menatapku. "Oh, dia keponakannya Tante Sarah. Mulai sekarang, dia bakal tinggal sama Tante Sarah."

"Dia... kakak aku, kan?"

Semoga Mama menjawa—

"Dia lebih tua dari kamu, jadi kamu harus manggil dia Kakak," jelas Mama. "Masa gitu aja enggak ngerti, sih?"

Aku baru akan membuka mulutku untuk menyangkal perkataan Mama, ketika Mama berbicara lagi, "Satria, Rea, ayo duduk. Ngapain berdiri aja di situ? Sini duduk sambil minum teh."

Dengan enggan, aku duduk di samping Satria. Sekilas, aku melirik ke arah cowok itu. Tatapannya menerawang, seolah-olah hanya tubuhnya yang berada di sini. Sedangkan jiwanya sedang pergi bertualang bersama Dora the Explorer atau siapa.

"Nih, Satria, diminum dulu tehnya," kata Mama sambil menyerahkan secangkir teh kepada Satria.

Satria terlonjak kecil. Jelas dia kaget karena dibangunkan begitu saja dari mimpinya menjelajahi hutan bersama Dora. Satria mengulurkan tangannya dan menerima teh dari Mama.

Dia sudah mendekatkan cangkir ke bibirnya ketika aku sadar akan satu hal—peraturan yang kubuat sendiri: jangan pernah makan atau minum sesuatu yang dibuat oleh Mama!

Aku buru-buru merebut cangkir dari tangan Satria, membuat cowok itu tertegun sesaat lalu menatapku dengan heran.

"Rea! Kamu ngapain?" tegur Mama.

"Eh—ini tehnya kayaknya kekurangan gula, deh. Aku tambahin, ya," kataku beralasan.

"Satria malah enggak suka kalau ada gulanya," kata Tante Sarah. "Iya, kan, Sat?"

Satria mengangguk. "Sini, Ras."

Ras? Dia bilang Ras? Kenapa tidak sekalian dia bilang, "Sini, Suku"?

Aku memajukan bibirku. Padahal aku baru saja menyelamatkan nyawanya! Karena tidak tega melihat Satria mati mengenaskan karena teh Mama, aku beralasan lagi, "Eh, salah. Maksudku, teh ini kebanyakan gula, Satria pasti enggak mau."

"Oh, ya udah. Enggak udah dibikin ulang," kata Satria.

Aku meletakkan cangkir teh di atas meja sambil menghembuskan napas lega. SuperRea telah menyelamatkan dunia!

"Aku tahu kamu paling enggak bisa bikin teh, Ras," lanjut Satria.

Kalau ini di dalam komik, wajahku pasti sudah berwarna mirip bola basket yang kecebur di lumpur. Lalu, dari telingaku, keluar asap-asap yang lebih hebat dari asap bajaj.

"Aku Rea. Bukan Ras," tegasku.

"Dia Rea, Satria," kata Tante Sarah. "Panggil dia yang bener. Namanya bukan Laras."

Satria menatapku selama beberapa saat. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya lalu berkata, "Kamu mirip banget sama Laras. Kamu pasti Laras."

Aku mendengus sebal. "Laras siapa, sih?" tanyaku.

Satria tersenyum tipis. "Adikku," katanya.[]

PergiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang