07/03/16

13.1K 2.2K 754
                                    

Aku sedang berada di dapur, membuat jus jerukku sendiri, ketika aku mendengar pintu depan rumah ditutup. Tadi, Tante Sarah mampir ke rumah. Entah apa tujuannya, tapi dia berbincang-bincang lumayan lama dengan Mama. Mungkin Satria berbuat nakal di rumahnya, dan dia memutuskan untuk memberi Satria kepada keluargaku, dan Satria akan menjadi kakakku untuk selamanya.

Aku berjalan keluar dari dapur dan melangkah menuju ruang tamu. Mama masih duduk di kursi. Tangannya sibuk mengetik sesuatu di ponselnya.

Otakku berpikir cepat. Dengan kapasitas kecepatan berpikir maksimal 2 meter per jam, aku berusaha menimbang-nimbang, apa yang bisa kukatakan untuk memancing informasi dari Mama.

"Ma, lagi ngetik apa, sih? Serius amat." Iya, aku berakhir mengucapkan itu.

"Ini, Mama lagi ngobrol sama temen Mama," jawabnya. Mama bahkan tidak mengangkat pandangan dari ponselnya.

Ini jauh dari Tante Sarah. Bagaimana caranya supaya topik ini sampai ke Tante Sarah?

Aku mencoba lagi. "Siapa temen Mama? Dia tinggal di deket sini, enggak?"

"Iya," jawab Mama. "Masa kamu enggak tahu? Itu lho, Tante Sarah."

Aku salah. Ternyata topik tadi benar-benar dekat dengan Tante Sarah. Saking dekatnya sampai agak tidak masuk akal. Bukannya tadi Tante Sarah barusan pulang?

Ah, biarkan saja. Ini bagus untukku.

"Oh, ngomongin apa emang sama Tante Sarah?" tanyaku lagi.

"Ini lho, soal si Satria," jawab Mama.

Sambil memegang jus jerukku, aku duduk di samping Mama. "Satria kenapa, Ma?"

"Dia tuh agak aneh gitu," jawab Mama. Ia akhirnya menatapku. "Tahu kan, dia suka manggil kamu Laras?"

"Laras itu artinya adik, Ma. Dia manggil aku adik."

"Laras itu adiknya."

"Hah? Dia punya adik?"

"Iya. Tapi udah meninggal."

Eh?

"Keluarganya Satria udah meninggal semua," jelas Mama.

Aku bisa merasakan wajahku langsung pucat. Tanganku terasa dingin. Ya, memang sih, dari tadi aku menggenggam jus jeruk dengan es batu setengah gelas, tapi sekarang, tanganku sangat amat dingin.

"Kalau gitu... Tante Sarah itu juga udah meninggal, dong? Terus yang selama ini itu siapa?"

"Bukan gitu!" tukas Mama. "Keluarga intinya Satria. Orangtua sama adiknya."

Aku menghela napas lega. "Oh, gitu. Emang meninggal kenapa?"

"Katanya sih, kecelakaan mobil. Cuma Satria yang selamat. Dan sejak itu, dia agak... aneh. Kayaknya dia punya gangguan mental gitu, deh. Tante Sarah juga enggak tahu. Yang jelas, Satria suka bengong gitu," jelas Mama.

"Bukannya anak cowok emang suka bengong, ya?" tanyaku.

"Kamu dikasih makan apa sih, kok salah nangkep mulu?" gerutu Mama. "Satria itu bengong kayak orang yang punya gangguan mental, Rea."

"Aku makan apa? Aku kan makan masakan Mama! Salahin masakannya, lah!" tukasku. Percaya aku benar-benar berkata begitu? Tidak? Bagus. Karena mana mungkin, kan? Yah, walaupun aku benar-benar ingin mengatakannya.

Lagi pula, aku kan benar. Salah Mama bicaranya tidak spesifik.

"Ya udah ah, Mama mau mandi dulu, terus Mama mau ketemu sama teman-teman SMA Mama. Kamu mau ikut? Mama udah masak mi ayam bumbu santen buat reuni ini. Kalau kamu ikut, kamu dapat makanan gratis."

PergiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang