07/03/16

18.1K 2.5K 776
                                    

Aku menyambut uluran tangan Satria.

"Iya, Kak. Gitu dong! Kan udah kubilang dari kapan tau. Kita pulang aja!" seruku, lega akhirnya Satria mengerti ucapanku. Kenapa dia enggak ngerti dari tadi aja, sih? Emang dari tadi aku ngomong pakai bahasa apaan? Bahasa burung? Aku aja enggak bisa siul!

Satria menggenggam tanganku dengan erat, tapi dia tidak menunjukkan tanda-tanda ingin pergi. Dia justru menatap ke jurang di hadapannya. Oh, mungkin dia lagi mikir, sebelum pulang, enaknya mampir ke mana dulu--kita kan belum makan!

Satria emang bener-bener kakak idaman.

"Kak, ke McD aja, yuk. Aku pengen kentang goreng," kataku.

Satria tidak menanggapi ucapanku. Dia bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda mendengar ucapanku.

"Eh, cuma mau ngingetin, kalau-kalau Kakak lupa, kita sekarang basah kuyup," kataku. "Jadi, makanannya bawa pulang aja, ya?"

Satria tetap diam.

Aku mengerutkan kening. Barusan aku ngomong pakai bahasa Indonesia kan, ya? Kok Satria kayak enggak ngerti gitu, sih? Dia masih natap ke depan dengan raut wajah... serius?

Mungkin tadi aku kelepasan ngomong bahasa Italia.

Eh, tapi enggak, ah. Kan, tadi aku bilangnya McD, bukan piza!

Walaupun piza kayaknya boleh juga.

Aku menggoyang-goyangkan bahu Satria dengan tanganku yang bebas. "Kakak!"

Satria menoleh padaku. "Kamu siap?"

"Siap?" ulangku. Kemudian, pemahaman memasuki benakku. "Ooh! Siap-siap! Kita mau ke McD ka--"

Satria tiba-tiba melangkah maju, lalu tanpa aba-aba kayak cek-cek-satu-dua-tiga atau apalah, dia melompat ke jurang, membawaku bersamanya.

Aku refleks memejamkan mata. Guyuran air hujan, membuatku tidak bisa membuka mulut untuk menjerit.

Aku bakal mati.

Pikiran itu tiba-tiba masuk ke kepalaku.

Apa, sih, salahku? Aku kan cuma mau makan kentang goreng! Ya, mungkin aja sih, Satria ngira ada McD di dasar jurang. Tapi kan, kalau ujung-ujungnya aku mati, mendingan makan nasi kuning rasa pisang buatan Mama.

Mama...

Papa...

Aku tiba-tiba teringat mereka. Mereka bakal gimana tanpa aku? Nanti temen-temen Mama pada kabur semua, karena enggak ada lagi yang kadang-kadang, nyingkirin masakan yang udah Mama bikin buat temen-temennya.

Dan Papa enggak bakal nemu temen main catur lagi--yang ngerti cara main di atas papan yang putih semua, dengan pion yang semuanya warna hitam.

Aku masih memejamkan mataku, ketika aku tiba-tiba berhenti terjatuh.

Apa aku udah mati?

Aku membuka mata, dan seketika langsung merasa pusing dan mual. Sesuatu nyangkut di bajuku. Batang pohon.

Oke ralat, bukan sesuatu nyangkut di aku. Tapi, aku nyangkut di sesuatu.

Tepatnya, aku nyangkut di pohon.

Di bawah, cuma ada kegelapan. Dan ada satu titik yang kukenal sebagai kakakku, terjun bebas ke kegelapan itu.

Satria emang kakak yang baik. Aku enggak rela kalau harus ngelihat dia jatuh bebas kayak gitu. Tapi, emangnya aku bisa apa sekarang?

Oh, ada satu hal yang bisa kulakukan. Sebelum dia hilang dari pandanganku, aku harus ngasih tahu dia sesuatu. Supaya dia enggak nyari lama-lama. Supaya dia enggak mencari tanpa ada hasil.

Supaya dia enggak sakit waktu tahu, apa yang dia cari enggak ada.

"KAK! Enggak ada McD di bawah sana!"

[.]

Bau bunga melati bikin aku mau muntah.

Daripada bunga melati, aku lebih suka bunga bangkai. Tapi karena bunga itu dilindungi oleh negara, aku jadi enggak bisa naruh bunga itu di atas makam kakakku.

Makam kakakku.

Makam Satria.

Waktu aku dan dia jatuh ke jurang, Satria kehilangan nyawanya. Aku beruntung, aku nyangkut di pohon. Walaupun pegel banget. Rasanya, kayak orang-orang baru nemuin aku sekitar satu tahun setelah aku nyangkut.

Orang-orang itu dengan baik hati ngangkat aku dari pohon, dan beberapa dari mereka, turun dengan hati-hati buat nyari Satria.

Aku sempet lihat tubuh Satria. Hancur. Mukanya berdarah-darah dan... pokoknya, hancur.

Tapi, aku yakin, aku lihat, ujung bibir hancurnya sedikit naik. Sedikit.

Mama dan Papa panik banget dan langsung nangis-nangis begitu lihat aku. Tetangga-tetanggaku juga pada heboh begitu aku pulang ke rumah, setelah dari kantor polisi.

Iya, aku sempet ke kantor polisi. Di sana, polisi nanya macem-macem ke aku. Salah satu pertanyaannya, "Apa kamu tahu, kenapa Satria loncat?"

Aku jawab, "Dia mau pulang."

Aku tahu, dia juga nyari sesuatu di bawah sana. Mungkin dia nyari McD, mungkin dia nyari yang lain.

Kebahagiaan? Ketenangan? Kemakmuran? Kesejahteraan? Keluarganya? Kentang goreng?

Apa pun itu, aku enggak bilang ke Bapak Polisi. Dia enggak perlu tahu. Selain karena ribet ngejelasinnya dan males ngomong (badanku udah pegel-pegel semua), entah gimana, aku tahu kalau enggak ada gunanya ngasih tahu--apa pun yang Satria cari, aku harap, dia udah nemuin itu.

Kalau yang dia cari itu keluarganya, aku harap, sekarang mereka lagi nongkrong-nongkrong bareng sambil ketawa-ketawa. Belakangan, aku dikasih tahu kalau keluarganya Satria juga meninggal di jurang itu. Siapa tahu aja, mereka sekarang lagi makan-makan di McD. Bayangan Satria lagi makan kentang goreng sama Laras yang asli, bener-bener membahagiakan.

Sekarang, aku lagi di acara pemakaman Satria. Tetangga-tetanggaku datang--termasuk Tante Sarah, yang nangis gede banget waktu tahu Satria meninggal. Ada juga, temen-temen sekolahnya Satria.

"Kamu enggak apa-apa?" tanya Papa sambil berdiri di sebelahku.

Aku menoleh ke arah Papa. "Badanku pegel-pegel, dan di punggungku ada luka bekas goresan batang pohon, tapi aku enggak meninggal. Jadi, aku enggak apa-apa."

"Bukan itu maksud Papa," kata Papa.

"Terus?"

"Maksud Papa, kamu enggak apa-apa ditinggal Satria? Kamu kan, seneng banget kalau ada Satria. Kamu anggep dia kakak kamu."

Aku menghela napas. "Yah, sedih, sih. Baru juga punya kakak sebentar. Tapi, kejadian di pohon itu, bikin aku bersyukur. Seenggaknya, aku udah pernah ngerasain, yang namanya punya kakak."

Aku menoleh ke gundukan tanah di depan. Di bawahnya, ada kakakku yang lagi tidur.

Aku berjalan ke arah gundukan tanah itu, kemudian berjongkok di hadapannya. Tanpa memedulikan orang-orang di sekelilingku, aku mengulurkan tangan kemudian menggenggam tanah di hadapanku. Tanah yang akan menemani Satria, entah sampai kapan.

"Kak, makasih udah sempet jadi kakakku," kataku. "Walaupun kakak bukan kakak yang paling baik--yah, kakak mana sih, yang ngajak adiknya terjun bebas?" Aku tertawa kecil. "Tapi, seenggaknya, aku udah ngerasain gimana rasanya punya kakak. Makasih, ya, Kak."

Aku berdiri, lalu menatap gundukan tanah itu. Sebelum pergi, aku teringat sesuatu. Ada satu hal lagi yang harus aku katakan kepada kakakku.

"Kalau Kakak ketemu Laras, jangan panggil dia Rea, ya," kataku. "Semoga kalian bahagia di sana."[]

PergiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang