"Ma, temani aku ke kamar mandi dong, aku takut," pintaku pada mama. Namun mama malah marah, dan membentakku. "Kau itu sudah besar, umurmu sudah 8 tahun. Apa sih yang kau takutkan untuk ke kamar mandi, kau itu kan laki-laki."
Aku menangis, dan menahan keinginanku untuk ke kamar mandi. Hari sudah malam, tapi Abiku belum juga pulang. Abiku selalu pulang larut malam, bahkan aku hampir tak pernah melihatnya di rumah. Tapi ia selalu ada saat aku bangun, keesokan pagi.
"Ma, aku sudah tak tahan. Aku harus ke kamar mandi," kali ini suaraku lebih keras. Mamaku datang menghampiri, kukira ia akan menemaniku ke kamar mandi, tapi aku salah, ia malah menjewer telingaku, dan memukulku berkali-kali. "Kau mau jadi apa? Menyusahkan orang saja hidupmu, kau tak tau ya, kalau sekarang ini aku susah bergerak, aku sudah mau melahirkan."
Mama terus memukulku tanpa ampun. Kata Abi, Mama lagi mengandung, dan sebentar lagi aku akan punya adik, makanya perut Mama membesar. Tapi, sekarang Mama jadi pemarah, ia sering memukul, menyubit, menjewer, dan menghardikku. Aku tak tahan. Aku sering mengadu sama Abi, tapi Abi hanya diam.
Aku terpipis di celana, sekarang ada genangan air di lantai. Mama langsung mengamuk, "Memang dasar anak tak berguna, kalau aku terpeleset kena air kencingmu, siapa yang akan menanggung. Kau memang benar-benar anak kurang ajar ya," Mama mengambil sapu, membalikkannya, dan mulai memukulku pakai tangkai sapu.
"Ma, aku minta maaf. Aku janji... tidak akan buat lagi. Ma, aku minta maaf," aku terus memohon agar Mama memaafkanku.
Tapi Mama terus memukulku. Memukul punggungku, kakiku, tanganku. Memukul seluruh tubuhku pakai tangkai sapu. Tubuhku memar. Aku kesakitan.
"Abi... Abi, cepatlah pulang," rintihku.
Mama malah menamparku, sakit sekali. "Pergilah kau dari rumah ini, emang dasar anak tak mau diatur."
Aku lari ke kamarku, tapi Mama malah mengikutiku. "Mau kemana kau? Aku belum selesai," Mama kembali memukulku, pakai tangkai sapu.
***
Aku tak tau bagaimana akhirnya aku bisa tertidur. Ketika bangun, Abi sudah memelukku. Hangat rasanya.
Aku menceritakan semuanya pada Abi. Ia memelukku, dan mencium kening serta rambutku. Tubuhku terasa sakit sekali.
"Bi, hari ini aku mau ikut Abi ya. Mama tiap hari marah-marah terus," aku memohon agar Abi membawaku kemanapun ia pergi hari ini. Aku tak ingin di rumah bersama Mama.
"Tidak bisa nak, Abi kerja. Makanya kamu jangan nakal, dengarkan apa kata Mamamu. Nanti malam Abi akan pulang lebih cepat, kita jalan-jalan ya," Ia kembali mencium rambutku. Lalu ia menangis.
"Janji ya, Bi. Nanti malam kita pergi. Aku tidak pernah nakal kok, Mama aja yang marah-marah terus;" aku memegang tangan Abi, kasar.
***
Selama Abi tidak di rumah, Mama kembali marah-marah. Ia terus-terusan memukulku. Aku menangis, dan berdoa agar Abi cepat pulang, lalu membawaku jalan-jalan. Aku kelaparan, tapi tak berani minta makan sama Mama. Lalu aku ketiduran.
Abi membangunkanku dari tidur. "Ayo nak, kita pergi jalan-jalan." Aku senang, akhirnya Abi sudah pulang, dan mengajakku pergi.
"Bi, kita tidak bilang sama Mama dulu, kalau kita mau pergi? Nanti dia marah lagi." Tapi Abi malah menggendongku, menaruhku di atas motor, dan pergi begitu saja.
Kami berkendara keliling kota, Abi membelikanku banyak kue dan es krim. Aku dengar ia menangis, "Maafkan Abi ya nak. Abi jarang di rumah," Ia mengusap-usap punggungku yang memar.
Kami kembali berkendara keliling kota. Abi menambah kecepatan motor. Kuperhatikan, berkali-kali Abi memandang ke belakang. "Mamamu mengikuti kita," kata Abi cemas.
"Aku tak suka sama Mama, dia jahat, dia sering memukulku." Motor yang kami kendarai semakin kencang, dan berbelok ke arah yang sepi dan gelap. Aku tak bisa melihat dengan jelas, pandanganku kabur.
"Kita lewat sini saja," kata Abi sambil mengarahkan motor ke areal perkebunan. Aku seperti melihat banyak pohon-pohon tinggi di sekitarku. Tapi aku tak bisa melihat dengan jelas.
Abi melihat ke belakang. "Mamamu sudah tidak ada sekarang, kau bisa tenang nak. Ada Abi di sini, bersamamu," Abi menggendongku turun dari motor, dan membawaku bersembunyi semakin jauh ke dalam perkebunan. Aku kedinginan. Untungnya Abi memelukku.
Lalu Abi menurunkanku, "Kita sudah sampai." Ia mengusap-usap rambutku. Kulihat Abi menarik sebuah kain panjang yang menutupi tanah. Tanah itu berlubang, seperti baru dilubangi. Tapi aku tak bisa melihat dengan jelas, pandanganku kabur.
Abi mengangkat tubuhku, dan melemparku jatuh ke dalam lubang. Aku kesakitan. Lubang ini dalam. Tubuhku kedinginan dan kesakitan.
"Bi, aku takut. Keluarkan aku..." aku berteriak, tapi aku tak bisa melihatnya. Aku mengangkat tubuhku. Berusaha keluar dari lubang. Aku mengais-ngais pinggiran tanah, dengan kedua tanganku.
Tiba-tiba Abiku datang, aku seperti melihat ada cangkul di tangannya, tapi tak begitu jelas, pandanganku kabur.
Sepertinya Abi mengangkat cangkul itu tinggi-tinggi, dan mengarahkannya ke tanganku. Tangan kananku putus, terbelah oleh cangkul. Rasanya sakit sekali. Aku berteriak dan menagis. Banyak darah yang keluar.
Kemudian Abi mengarahkan cangkulnya ke tangan kiriku. "Aku malu punya anak sepertimu. Kau tidak sempurna, kau cacat," Ia mengulang-ngulang kata itu sambil menangis. "Cukup aku yang menanggung aib ini. Aku tak ingin adikmu nanti, punya saudara yang juling sepertimu."
Cangkul mengenai tangan kiriku. Rasanya sakit sekali. Aku menangis dan menangis tanpa henti.
Kedua tangaku sekarang sudah putus, tubuhku terhempas ke dalam lubang. Aku tak bisa lagi keluar dari tempat ini.
Aku merasakan ada tanah-tanah yang dicangkulkan ke arahku. Tanah-tanah itu semakin banyak dan berat. Aku berangsur mundur, menghindari tanah-tanah itu dengan kedua kakiku.
"Kau tak usah lari nak." Sepertinya aku melihat Abi mengarahkan cangkulnya ke arah kaki kananku, tapi tak begitu jelas, pandanganku kabur. Tubuhku sangat sakit. "Ini demi kebaikanmu," kata Abi.
Lalu aku menjerit keras. Kaki kananku pun putus oleh cangkul.
Tubuhku sudah tidak kuat untuk bergerak. Tanah-tanah itu mulai masuk ke dalam mulutku, dan menutup kedua mata julingku.
Namun aku masih bisa mendengar suara dan tangisan Abiku. "Maafkan Abi, nak. Ini semua demi kebaikanmu." Kemudian aku merasakan cangkul membelah leherku.
Selesai.
Dumai, 14 Juni 2015. 22:04
Turut berduka cita, untuk anak-anak yang mengalami tindak kekerasan di dunia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah-Kisah Pembunuhan Berencana
Mistério / SuspenseSebagai penyuka thriller, naluri gue untuk ngebunuh seseorang itu besar banget. Kadang, dari kejadian kecil aja, gue bisa ngerencanain teknik pembunuhan super kejam. Tapi, di kehidupan nyata gue malah gak se-phyco itu. -Bg Man-