Sibling

1.1K 43 14
                                    

Kalau saja aku tahu bagaimana rasanya menduda, aku bakal berpikir ulang untuk menceraikan istriku. Sekarang hidupku sepi, kembali menyendiri seperti sedia kala saat aku masih duduk di bangku kuliah. Hidup luntang-lantung tanpa pekerjaan pasti.

Namaku Toni, sekarang umurku 40 tahun, dan aku belum dikaruniai anak. Mendiang Istriku, Salsa, meninggal tiga bulan yang lalu, ia terserang kanker payudara.

Sebenarnya apa yang aku cari dalam hidup? Aku selalu bingung dan bertanya-tanya dalam hati. Aku orang yang ambisius dan tak pernah puas akan suatu hal. Istriku cantik, tapi aku tetap lirik sana-sini. Mobilku sudah bagus, tapi terus saja aku ingin lebih dan lebih. Aku rakus.

Aku punya dua rumah kontrakan. Aku sendiri lebih memilih tinggal di ruang kosong di kantor, dan menitipkan mendiang istriku di rumah orangtuanya. Alasannya simple, aku ingin pundi-pundi tabunganku terus bertambah dari sewa kontrakan. Hey, bukankah sudah aku bilang kalau aku tamak?

------

"Buat apa lagi kau ke rumahku?" Bentak lawan bicaraku dengan lantang. Di belakangnya, ikut berdiri seorang perempuan berjilbab, sambil menggendong bayi mungil.

"Asal kau ingat, ini kali pertama aku kembali menginjakkan kaki di rumahmu," balasku berang.

"Sudahlah bang, jangan kepancing emosi. dia itu kan saudaramu," Istrinya berusaha melerai adu mulut kami siang itu.

"Kalian berdua dengar," kataku tajam. "Sampai kapanpun, kalian takkan kumaafkan. Kematian Istriku, adalah salah kalian berdua," kataku lagi membabi-buta.

"Dasar orang gila. Enyahlah kau dari rumahku ini," lawan bicaraku berang, ia meraih vas bunga di ruang tamu, dan berusaha mengusirku seperti binatang.

"Bajingan!!! Kenapa selalu aku yang ketiban sial, sementara hidupmu bahagia," aku berusaha menahan tangis. Terlambat, kantong air mataku pecah tak tertahankan. "Aku iri padamu, aku ingin hidup sepertimu, aku ingin menjadi dirimu, dan memiliki semua hal yang kau punya," kali ini suaraku beradu dengan sesak dan perih di dada.

"Justru aku yang dari dulu iri padamu, hidupmu tak pernah susah. Kau sendirilah yang membuat hidupmu seperti ini," suara lawan bicaraku makin keras, urat-urat nadi di pelipisnya menegang.

Istrinya berusaha menutup pintu, menarik suaminya ke dalam rumah. Sepertinya ia tak ingin gaduh-gaduh ini didengar tetangga. Rumah-rumah mereka hanya berjarak 2 meter dan dibatasi tembok.

Aku mendobrak pintu dengan kakiku. Gagal.

"Pulanglah, biarkan kami hidup tenang," suara istrinya terdengar memelas dari dalam rumah. Aku bisa mendengar, bayi mereka mulai menagis.

Kudobrak pintu untuk yang kedua kalinya. Gagal.

Suara tangisan bayi makin kencang.

Kudobrak sekali lagi, kali ini lebih keras. Brak!!! Pintu terbanting membuka. Selanjutnya, aku berharap bahwa aku membatalkan niatku untuk mendobrak pintu, dan pergi menjauh dari rumah itu.

Di lantai ruang tamu yang serba putih, mengalir darah merah segar, darah seorang bayi mungil.

Aku masih dapat melihat bayi itu megap-megap kesulitan bernapas.

Ibunya ikut terpelanting dan jatuh pingsan, akibat pintu yang kudobrak.

"Dasar Anj*ng!!! Matilah kau, temui mendiang istrimu yang penyakitan itu di neraka," sumpah serapah terdengar dari mulut ayah sang bayi.

Ayah bayi itu adalah adik laki-lakiku.

******

Riausky office, 171015
Haris Rachman.

Kisah-Kisah Pembunuhan BerencanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang