Bahagia (dengan B Besar)

1K 54 6
                                    

Dalam suatu perjalanan dengan Trans-Jogja yang sedikit mendebarkan, seseorang yang asing bertanya kepadaku: Apa itu Bahagia?

Itu bukan pertama kalinya pertanyaan serupa kuterima. Pertanyaan yang sudah bertahun-tahun kugeluti itu sering menimbulkan migrain temporer akibat begadang setiap malam dan terlalu banyak memikirkan hal-hal yang tak perlu dipikirkan. Namun pengalamanku yang sudah jamak ini ternyata tak memberikan bantuan apapun bagiku untuk menjawab pertanyaan orang asing yang benar-benar asing, di bus trans-Jogja yang sedikit oleng.

Apa itu Bahagia?

Kalau saja aku masih berusia 7 sampai 12 tahun, tentu akan mudah kujawab. Bahagia itu ketika Bapak dan Ibu pulang dari kantor, dan membawa oleh-oleh. Atau ketika ulang tahun datang membawa setumpuk kado dengan balutan kertas warna-warni. Bisa juga, ketika aku liburan ke kota naik delman istimewa, walau mungkin hanya duduk tenang di samping Pak Kusir yang sedang bekerja. Begitu banyak definisi bahagia di usiaku yang 7-12 tahun itu. Aku tak perlu pusing. Lagipula, apa itu pusing? Sesuatu yang akan hilang setelah mengonsumsi bodrex anak-anak.

Kalau saja usiaku 12 sampai 18 tahun, aku juga tidak akan kesulitan menjawab. Dengan sedikit menggombal, akibat hasrat romantisme dan galaunisme tak tersampaikan, aku akan menjawab: Bahagia adalah ketika kita melihat orang yang kita sayangi bahagia, walau tidak bersama kita. Setelah itu aku akan menangis, mendeklamasikan patah hati dengan lagu-lagu cinta, yang sedang booming di radio, dan sudah kucatat liriknya di buku harian. Meski sedih, namun bahagia delusional itu bisa dengan mudah diterjemahkan. Meski delusional, setidaknya aku tahu apa itu bahagia.

Kalau flashback hingga enam tahun lalu saja, aku juga masih bisa menjawab dengan mudah apa itu bahagia. Yaitu ketika aku diterima di sebuah kampus ternama, dengan biaya yang tak terlalu tinggi. Orang tuaku bangga, aku senang, dan masa depanku terlihat cerah mendadak.

Namun kali ini, bertahun-tahun setelah aku merasa masa depanku cerah, dan si orang asing bertanya Apa itu Bahagia?, aku seperti ditampar bolak-balik. Baru kusadari bahagia-bahagia yang terbagi secara periodik dalam hidupku tadi adalah bahagia dengan b kecil, sementara di luar sana ada Bahagia dengan B besar, yang sedang ditanyakan oleh bapak-bapak bertopi pelukis di Trans-Jogja yang mendebarkan ini.

Apa itu Bahagia (dengan B besar)?

Sungguh aku tak tahu. Sialnya, dengan segera pertanyaan itu berhubungan dengan pertanyaan-pertanyaan lain yang membentuk semacam geng, yang sengaja menjatuhkanku. Seperti geng anak-anak populer di SMA. Jika Bahagia dengan B besar tidak kuketahui, lantas bagaimana aku dapat menentukan bahagia-bahagia dengan b kecil? Tentu saja aku bisa merasakan bahagia dengan b kecil, dengan contoh kejadian-kejadian yang telah kusebutkan tadi, tapi bagaimana aku bisa merasakannya tanpa tahu rumus mutlak yaitu Bahagia dengan B besar? Aku tahu, sekaligus tidak tahu.

Begini, bahagiaku karena mendapat oleh-oleh, mendapat kado, punya pacar, atau diterima kampus ternama, sifatnya sangat sementara, bukan? Aku bisa saja gagal bahagia ketika oleh-oleh dan kado yang kuterima tidak sesuai yang kuharapkan. Aku bisa saja berhenti bahagia ketika pacarku selingkuh. Dan aku bisa saja berhenti bahagia ketika tugas-tugas kuliah di kampus ternama itu ternyata tak berperikemanusiaan. Kebahagiaan yang sementara dan bisa digagalkan ini adalah bahagia-bahagia dengan b kecil. Dan Bahagia dengan B besar adalah sebuah rumus adikuasa, yang didistribusikan kepada bahagia-bahagia dengan b kecil dengan semacam aturan deduksi. Dengan demikian, bukankah penting bagiku untuk mengetahui rumus adikuasa tersebut, untuk menciptakan sebanyak-banyaknya bahagia dengan b kecil? Lihat kan? Betapa gawatnya jika aku tidak bisa menemukan rumus tersebut. Kebahagiaanku akan terus bersifat kebetulan dan temporer yang membuat frustrasi.

Di tengah kecamuk frustrasiku dan desingan otakku yang berkarat, kujawab saja: Bahagia adalah tujuan hidup manusia.

Pria setengah baya itu tersenyum kecil. Apa batas awal dan batas akhir Bahagia, begitu dia bertanya lagi.

Sungguh sebenarnya aku ingin halte pembertian selanjutnya segara muncul, agar aku tak perlu menjawab pertanyaan aneh itu. Atau jika tidak, aku sedikit berharap supir trans-jogja mengerem mendadak, supaya kepala pria itu terbentur besi dan seketika amnesia, supaya ia lupa pertanyaan yang telah ia ajukan. Namun kemudian aku sadar, tidak ada besi apapun di depan kami. Terbentur udara kosong tak akan membuat orang amnesia, aku tahu itu.

Ng, mungkin, Bahagia mungkin ketika orang tidak lagi menginginkan apapun karena semua yang dia inginkan telah terpenuhi, jawabku sok filosofis. Jadi batas akhirnya adalah ketika dia kembali menginginkan sesuatu. Bukankah hasrat manusia adalah penyebab segala sengsara? Aku balas bertanya.

Begitu, guman pria tersebut. Sekarang bayangkan, seseorang telah menemukan Bahagia yang menjadi tujuan hidupnya. Aku menelan ludah, merasa bahwa pertanyaan pria ini masih banyak. Sial. Kapan pemberhentian berikutnya? Orang tersebut akan terus berusaha memertahankan kebahagiaannya, bukan? Tanya pria itu lagi. Jadi, apa dia masih bahagia ketika dia bersusah payah memertahankan kebahagiaannya?

Mati. Sungguh aku mati kali ini. Rasanya aku ingin bangkit dan membenturkan kepalaku ke dinding bus. Aku benar-benar tidak tahu apakah pria ini sekedar iseng mengisi waktu perjalanannya dengan membuka percakapan dengan topik seaneh dan semenyebalkan kebahagiaan. Ataukan pria ini seorang agen dari reality show yang akan memberiku uang setelah aku berhasil menjawab pertanyaannya, sekaligus mengatakan aku sedang masuk ke acara TV anu? Ataukah pria ini adalah malaikat dalam penyamaran yang sedang ditugaskan Tuhan untuk mengujiku? Sumpah, aku tamat kawan.

Kupikir, Bahagia dengan B besar adalah ketika aku berhasil menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu. Namun setelah kupikir-pikir lagi, kenapa aku mengikuti pertanyaan si orang asing yang jelas-jelas membuat migrainku kambuh lagi? Untuk apa pusing-pusing mencari Bahagia dengan b besar, jika bahagia dengan b kecil sudah cukup membuat manusia bahagia? Memahami Bahagia dengan B besar tidak akan membuatmu mendapat jodoh idola semua manusia ataupun lolos seleksi CPNS. Tidak ada gunanya memikirkan Bahagia dengan B besar.

Namun setelah kupikir lagi, kenapa aku masih saja terus memikirkannya?

STATE OF MINDWhere stories live. Discover now