Chapter 2

764 38 9
                                    

"Reina? Sudah waktunya. Ayo bangun." Suara Yura yang lembut membangunkanku. Aku yang ternyata tertidur akhirnya bangkit, mencuci muka di kamar mandi, dan kembali lagi ke lapangan.

Tampak beberapa murid yang masih menguap dengan mata sayu. Aku pun sama. Masih mengantuk.

"Baiklah, apa semua sudah di sini?" Tanya Akita-sensei. Kami semua dengan serempak berteriak, "Ya!"

Akita-sensei pun mulai menjelaskan tentang peraturan permainan selanjutnya. Menemukan bendera merah. Ada tujuh bendera yang diletakkan di tempat berbeda. Tempat tersebut adalah halaman belakang sekolah yang sudah tak terawat, perpustakaan, koridor kelas 8, ruang kesehatan, kantin, ruang musik, dan ruang guru. Setiap kelompok bebas memilih ingin mencari di mana dulu. Kalau tidak menemukan satu pun bendera, maka kelompok itu harus mencari lagi.

Akh, guru sialan. Setelah kejadian tadi, masih ingin memakai ruang musik? Ga punya otak.

Semua murid pun akhirnya mengambil undian kelompok. Aku mendapat nomor 4...dan Yura juga nomor 4! Wah, aku beruntung ternyata. Berarti tinggal 1 orang lagi.

"Maaf," Suara seorang gadis terdengar. Kami membalikkan badan. Terdapat Nishikashi Anzu berdiri di sana. "apa nomor kalian empat?" Tanyanya. Kami hanya mengangguk. Melihat jawaban kami, dia sumringah.

"Aku juga empat! Berarti kita sekelompok, dong?" Serunya. "Yap!" Sahut Yura. Kami pun berbincang sedikit dan tak lama, Haya-sensei memberitahu kami bahwa permainan akan segera dimulai.

Kelompok 1 pun memulai permainan, diikuti kelompok lainnya dan pada akhirnya kelompok kami.

Setiap kelompok ternyata hanya dibekali senter kecil dengan penerangan yang kurang. Aku mulai berpikir macam-macam. Kalau senternya mati, nasib kita gimana?

"Berhati-hatilah, ya." Ucap Haya-sensei, sedikit misterius dan menakut-nakuti. Aku-mungkin tepatnya, kami bertiga-menatap beliau tajam. Dan akhirnya, permainan sesungguhnya di mulai.

***

"Jadi kita mau ke mana dulu?" Tanyaku setelah kami berjalan tidak terlalu jauh dari lapangan. Yura dan Anzu menatapku. Mereka tampak berpikir.

"Kantin aja. Lebih dekat dari sini kan?" Usul Yura. Aku dan Anzu pun hanya mengiyakan. Kami segera berjalan menuju kantin.

Kantin tampak sangat gelap dan kosong. Tak ada satu pun kelompok di sini, kecuali kelompok kami. Kantin di sekolahku cukuplah luas. Ada sebuah pintu besar di belakang meja menerima makanan. Aku selalu bertanya-tanya, pintu apa itu. Dan kabarnya, pintu itu adalah pintu dapur kantin.

"Yak, kita sudah di sini, jadi kita akan berpencar. Aku ke pintu itu, Yura ke barat dan Anzu ke timur." Aku memberi perintah. "Oke." Jawab mereka berdua.

Aku yang tak mau membuang waktu segera melangkahkan kaki ke pintu dapur itu. Entah kenapa, jantungku berdetak sangat kencang. Merinding. Terasa hawa yang sangat dingin, padahal aku sudah memakai jaket. Aku menelan ludah. Tenanglah, Reina.

Krek....

Terdengar suara pintu dapur yang engselnya sudah berkarat terbuka. Aku pun menginjakkan kaki ke dalam. Gelap. Kosong. Pengap. Menyeramkan. Senter kuarahkan ke segala arah. Aku pun mulai mencari di berbagai tempat. Hasilnya nihil. Bendera tidak kutemukan. Kurasa aku akan keluar sekarang.

Tepat saat itu, aku mendengar sesuatu yang diasah. Perlahan, aku menengok ke belakangku. Mataku membelalak. Ya tuhan.

Kompor-kompor yang semula padam kini menyala semua. Tercium bau yang amat busuk dari berbagai arah. Dan...terdapat banyak orang yang tergantung di sana. Kakiku gemetar. "Mari..kitamemasak..." Jantungku serasa akan copot. Mataku secara otomatis melihat ke pojokan ruangan.

PermainanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang