Hujan lagi? Cuaca sepertinya benar-benar tak bisa di duga ya.
Padahal kemarin cuacanya sangat cerah, global warming sepertinya benar-benar sudah parah.
''Ck, jangan daydreamer mulu'' sahut seorang cowok yang tiba-tiba duduk depanku. Aku seperti familiar dengan suara baritonnya, dengan malas ku alihkan pandanganku dari jendela kafe ini ke cowok tersebut dan benar dugaanku aku tahu cowok itu.
''Ray?!, ups sorry'' aku spontan menutup mulutku yang bodoh berteriak dan jadilah semua mata mata memandang kami. Aku hanya bisa nyengir kuda ketika tatapan-tatapan aneh itu menuju padaku.
''It's oke'' jawab Ray datar.
''Kok lo bisa ada di sini? Atau jangan-jangan lo nguntit gw ya. Ngaku gak lo'' aku bersuara dengan nada sinis ke Ray. Entahlah belum ada satupun temanku yang tau kalu aku anak bungsu dari keluarga calite, mungkin kalian menganggapku durhaka karna tidak mengakui keluarga sendiri, oke aku akan biarkan kalian berimajinasi sebebas-bebasnya.
''Ya menurut lo ngapain?'' Jawabnya masih dengan nada datar dan senyum miring, and I really really like his smile.
''Malah balik nanya.'' Aku memutar bola mataku jengah, bertele-tele sekali lelaki ini dan aku benci hal itu.
''Ke kafe? Gua mau makan lah'' ucapnya lalu memanggil pelayan dan dengan tampang tak bersalah ia makan semeja denganku dihadapanku dan satu lagi hanya berdua. Oke mungkin ini terlalu dramatis tapi aku tak pernah lunch bareng orang yang baru kukenal. Oh tidak, aku tidak pernah lunch bareng orang lain kecuali keluarga dan sahabatku Mellisa.
''Lo daydreamer mulu, apa jangan-jangan itu hobi lo ya? Nerd'' cowok itu berbicara sangat datar sambil mengunyah spagettinya seolah kata-katanya itu tidak berdampak apapun bagiku.
''Terserah lo mau ngomong apa karna itu memang gw, invisible. Apa sih peduli lo baru masuk juga'' ujarku pelan tapi sangat sinis, sebenarnya aku berharap ia tak mendengar kata-kata sarkastikku baru barusan. Tapi seperti aku salah karna ia langsung menghentikan makannya dan beralih fokus menatapku. Ia menatapku lama lalu kekehan singkat keluar dari bibirnya. Aku saja bingung bagaimana cowok yang ada di hadapanku ini bisa terkekeh dengan sangat singkat lalu memasang wajah unta gurunnya itu sangat kekurangan asupan ekspresi.
''You're beautiful, But invisible like a dandelion.'' Ia berbisik sambil tersenyum, senyum yang berbeda.
''What?'' Aku pura-pura tidak dengar ucapannya padahal aku mendengarnya dengan sangat jelas.
''Yes you're invesible and one again, nerd'' ia menjawab dengan sangat datar. Berani sekali lelaki ini berkata kepadaku seperti itu, dasar pembohong padahal tadi aku dengar kalo ia memujiku cantik. Dasar lelaki labil.
''Hah terus aja lo jelek-jelekin gw. Lo kira omongan lo itu gak nyakit apa?'' Aku berkata dengan sebal.
''I don't care'' hah cowok ini sebenernya ngomong sama aku apa sama spagetti sih? Dari tadi kalo ngomong yang di liat spagettinya, mengesalkan.
''Ya terserah lo aja lah. Gw mau duluan, oh iya bayarin ya bayarin ya. Bye unta gurun'' aku melambaikan tangan dan berjalan meninggalkan meja dengan menahan tawa yang ingin meledak. Salah siapa ia begitu mengesalkan.
''Eh! Enak aja lo gua yang bayarin. Mana pesenan lo banyak lagi. Aaahh bisa miskin gua kalo kayak gini, woy balik lagi'' Ray berteriak tak peduli banyak mata yang memperhatikannya.
''Bodo, that's your problem. Hahaha...'' aku berjalan sambil tertawa sedangkan tanganku memegangi perut.
''Oh, shit'' Ray lalu meninggalkan spagettinya yang baru setengahnya ia makan, diam-diam bibirnya tertarik ke atas membentuk lengkungan tipis. Ia keluar dari kafe dengan tatapan tegas, ia tak menuju kasir kafe. Semua mata pengunjung kafe sekolahnya ini menatapnya bingung, bagaimana bisa ia tak membayar dan begitu santainya keluar dari kafe.★
''Woy Al!'' Teriak seorang cowok sambil melambaikan tangan. Cowok itu adalah Vano, Theo, Nathan, dan Nico. Mereka berlari ke arah Ray lalu berpelukan ala sahabat.
''Gilee lo Al, lo pindah ke sini? Kok gak ngomong-ngomong sih lo.'' Kata Vano sambil menonjok pelan bahu Ray.
''Iya bukannya di De Brito udah keren ya? Kok pake ke sini'' Nathan berbicara dengan dahi berkerut.
''Iya gua pindah karna di suruh bokap. Jadi gua di usir nih ceritanya gak boleh sekolah di sini?'' Ray menjawab dengan malas. Sahabatnya itu bisa mendadak menjadi sangat cerewet.
''Ck, berbakti amat ya lo. Gak ngusir lah lagian nih sekolah punya keluarga lo'' Nico berkata dengan nada menggoda sambil menaik turunkan alisnya. Sedangkan Ray hanya mengangkat bahu acuh.
''Nah kan kita lengkap lagi nih berlima. Harus di rayain nih'' Theo berkata sambil tersenyum musterius. Yang paling mirip dengan Ray itu hanya Theo sama-sama berwibawa, tegas, misterius, unggul di akademik plus non akademik, bedanya hanya Ray lebih tampan dengan lesung pipitnya dibanding Theo. Tapi Ray selalu berwajah datar beda dengan Theo yang ramah tapi misterius.
''Boleh tuh'' sahut Nico
''Ya udah kita besok malem ngumpul ya di rumah gua'' Ray berkata dengan wajah datar. Para sahabatnya itu sudah mengetahui sifat Ray jadi mereka tak masalah setiap kali Ray memasang wajah datar.
KAMU SEDANG MEMBACA
crazy love
De Todo''gua gak peduli walaupun lo gak pernah nganggep gua sebagai salah satu dari beberapa orang yang selalu ada untuk lo. karena yang gua tau, hati gua udah lama terpenjara sama lo. jauh sebelum gua menyadari akan semua hal yang udah terjadi.'' -Albertu...