Malam hari aku baru pulang. Gara-gara hukuman ini tidak bisa ikut siaran dan pulang terlambat. Lagi-lagi mama menyanyi lagi. Badan cape semua, pikiran kacau, mama menyanyi terus lagi, tugas-tugas juga banyak. Dan besok aku harus punya tenaga yang cukup untuk bersih-bersih toilet. Aku teringat oleh Leo tadi, aku memberanikan diri untuk bertanya kepada mama. "Ma." mama yang tadi sedang sibuk menyanyi langsung mengalihkan pandangannya ke arahku.
"ada apa? Mau tanya ya?" tebaknya. "aku mau tanya tentang Leo. Dia sakit apa sih?" mama nampak kaget dengan pertanyaanku. "Leo, Leo siapa?" tanyanya pura-pura tak tahu."Leo anaknya Om Handoko. Dia sakit apa sih, tadi aku ketemu dia waktu mau ngebersihin toilet-" mama memotong omonganku. "ngapain kamu ngebersihin toilet kayak cleaning service aja."
"iya aku dihukum karena ketiduran di kelas. Aku lanjut, pas mau ngebersihin toilet yang ketiga aku denger suara orang muntah, pas dibuka ternyata Leo."
"terus kamu pasti nanya dong dia sakit apa." jawab mama sok tidak peduli."iya, dia jawab cuma masuk angin. Masa masuk angin sampai gitu, muntah-muntah dan warna muntahannya itu gak kayak orang masuk angin pada umumnya. Dan waktu dia mau berdiri dan jalan kakinya tuh kayak susah digerakin." mama gelagapan menanggapi pertanyaan ini. "dia.. dia.. tapi kamu jangan bilang sama temen-temen kamu yang lain." aku menganggukkan kepala. "dia.. sakit kanker Ray, kanker otak stadium 4. Dia sedang menjalani kemoterapi. Sebenarnya sudah lama penyakit ini berada di tubuh Leo tapi baru diketahui sejak SMP kelas 3 dulu." mama pergi begitu saja menuju ke dapur. Aku masih duduk membatu di ruang makan. Tak percaya Leo sahabatku sekaligus saudaraku sakit parah dan tak mau memberitahuku tentang itu.
Keesokkan paginya tak ku hiraukan mama memanggilku untuk ikut sarapan, aku langsung berpamitan dan menaiki sepeda ontelku langsung ke sekolah. Cukup, jauh membuatku lelah. Aku menghampiri kelasnya Leo, dia belum datang. Hingga beberapa menit kemudian dia datang. "Lee... aku mau tanya sesuatu tentang kamu tapi jangan di sini, jauh dari kelas." dia hanya mengangguk, aku menarik tangannya untuk segera pergi dari sini. "kamu mau tanya apa? Butuh aku ajarin?" tanya Leo kepadaku.
"gak usah kamu ajarin, aku mau tanya tapi sebelumnya kamu jangan kaget kalau aku tanyanya gini." dia mengangguk. "kamu sebenernya sakit kanker kan? Kanker otak dan udah stadium 4 ya kan? kamu bener-bener kurang ajar Lee. Kamu gak mau jujur sama aku saudaramu sendiri, kamu bukan Lee Handoko yang dulu selalu terbuka sama aku setiap kamu ada masalah selalu cerita, keceriaanmu buyar setiap ketemu aku di mana pun itu, kamu jadi pendiam dan menyingkir dariku." Leo menunduk, dan berkata. "iya, memang aku sakit kanker maaf aku bohong sama kamu. Aku rasa dengan cara apa pun penyakitku ini gak akan sembuh dengan cepat, mungkin waktuku tidak lama lagi. Aku sengaja menghindar dari kamu supaya kamu gak merasa kehilangan ketika aku pergi dan gak kembali."
"kamu ngomong apa sih? aku gak suka kamu berkata seperti itu, kayak gak ada harapan lagi. Kamu bisa operasi atau apalah yang bisa menyembuhkan itu, walaupun hanya bisa bertahan 1 bulan atau 1 tahun. Aku tidak masalah jika kamu tinggal, tapi akan jadi masalah jika orang-orang yang kamu tinggalkan itu sedih dan tidak rela melepaskanmu. Lebih baik perjuangkan hidupmu ini. Lakukan apa yang bisa membuat keadaanmu membaik seperti operasi, lakukan itu meskipun resikonya mati di meja operasi. Perjuangkan hidupmu ini." aku mengikuti kata hatiku. Leo hanya diam menatapku sinis.
"kamu gak tahu mereka yang ditinggalin itu begitu kehilanganmu, sosok yang selalu ada di sisi mereka ketika mereka lagi butuh, menghibur ketika lagi di landa kesedihan, sangat terbuka ketika ada masalah. Mereka gak mau kehilangan itu semua, kamu harus berjuang buat kita semua, kamu gak mau lihat Mama aku dan Mama kamu menangisi kepergianmu kan?" dia menggeleng. Wajahnya mulai pucat.
"please, perjuangin hidup lo." kataku lagi.
"makasih sebelumnya kamu mengingatkanku masih banyak yang peduli sama aku. Tapi aku mohon, sembuhin dulu penyakitmu yang dari dulu gak sembuh-sembuh."
"hah?" aku bingung. "iya sakit ikut campur hidup orang. Tolong sembuhin itu dulu." katanya dingin.
"hahaha... ternyata." aku tak habis pikir. Leo tersenyum tipis.
"baru nyadar? Aku duluan kelas udah mau dimulai nanti aku dihukum kayak kamu lagi ngebersihin toilet. Oh iya kamu gak bersih-bersih?" tanyanya sebelum pergi dari hadapanku.
"biarin nanti aja pas istirahat. Please masukin kata-kataku tadi dalam otakmu cerna kata-kata itu!" Leo pergi dari hadapanku. Tanpa sepatah kata pun ke luar dari mulutnya. Aku tidak tega melihat Leo saat ini di dalam dia kesakitan namun dia mencoba untuk menyembunyikannya.